“Analisis terhadap Aplikasi MataMassa dan Hak Kekayaan Intelektual yang Dimilikinya Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014.”

(Ulya Fajri Amriyeny, 110110120148)

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang

Sebagaimana yang kita ketahui, semakin hari semakin banyak saja hal-hal baru yang diciptakan oleh manusia, bahkan oleh orang-orang di sekitar kita. Semakin berkembang jaman, semakin bertambah pula hasil karya cipta yang ditemukan.

Perkembangan Teknologi di Indonesia semakin menunjukkan suatu perubahan yang cukup signifikan. Adanya intervensi modernisasi jelas membuktikan bahwa daya kreatifitas masyarakat Indonesia juga semakin berkembang dan semakin kompleks. Budaya – budaya bangsa tidak ditinggalkan begitu saja, melainkan menjadi sebuah kolaborasi berbagai budaya yang diaktualisasikan secara apik telah menjadikan bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki daya cipta akan para intelektualis berbakat dan berkualitas.

Pengembangan terhadap Hak Kekayaan Intelektual dilakukan sebagai bentuk penghargaan (karena membutuhkan waktu untuk menemukannya), sebagai bentuk penghormatan, serta sebagai perlindungan dari setiap pemikiran masyarakat yang dihasilkan. Perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual dianggap perlu karena adanya pemikiran bahwa daya rasa, cipta, dan karsa akan menghasilkan nilai ekonomi yang sangat tinggi. Apabila kurang instrumen hukum yang mengatur tentang Hak Kekayaan Intelektual ini, tentu dapat menyebabkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap Hak Kekayaan Intelektual yang berimplikasi pula pada stabilitas pembangunan nasional.

Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya. Kekayaan seni dan budaya itu merupakan salah satu sumber dari karya intelektual yang dapat dan perlu dilindungi oleh Undang-undang. Dengan demikian, kekayaan seni dan budaya yang dilindungi itu dapat meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi para penciptanya saja, tetapi juga bagi bangsa dan negara. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut masih perlu disempurnakan untuk memberi perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang Hak Cipta, termasuk upaya untuk memajukan perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni dan budaya tersebut di atas.

Dengan telah ditandatangani Persetujuan TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) dan diratifikasinya konvensi-konvensi internasional di bidang hak cipta oleh pemerintah Indonesia, maka Indonesia memiliki komitmen untuk memberlakukan dan menerapkan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam TRIPs maupun konvensi-konvensi di bidang hak cipta. Adapun persetujuan TRIPs mengindetifikasikan instrumen-instrumen Hak dan Kekayaan Intelektual dan mencoba mengaharmonisasikannya pada tingkat global menyangkut komponen : Hak Cipta (copy rights), Merk Dagang (Trademarks), Paten (Patent), Disain produk industri (industrial design), Indikasi geografi (geographical indication), disain tata letak (topography), sirkuit terpadu/lay-out disain (topography of integrated circuits), dan perlindungan informasi yang dirahasiakan (protection of undisclosed information).

  1. Pokok Bahasan

Pemilihan Umum 2014 merupakan momen pembelajaran penting mengenai insiatif publik dalam pemantauan dan inovasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Berbagai taktik diandalkan, misalnya saja, optimalisasi media sosial oleh Ayo Vote, agregasi data politik oleh Api Pemilu dan Jari Ungu, hingga pengembangan aplikasi-aplikasi baru untuk ponsel pintar oleh MataMassa. Contoh terakhir, MataMassa, memberikan catatan menarik tersendiri mengenai pemanfaatan teknologi dalam meningkatkan partisipasi warga.[1]

Dikembangkan oleh iLab dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), MataMassa memungkinkan warga biasa untuk melaporkan pelanggaran atau kecurangan PEMILU dengan menggunakan telepon seluler mereka. Pada PILEG 2014 lalu, Mata Massa menerima setidaknya 2,765 laporan (per 30 April) dan menyampaikan 1,796 dari 7,478 laporan yang diterima Bawaslu dalam PILEG 2014[2]

Ahmad Suwandi, anggota dewan penasihat iLab, menuturkan bahwa aplikasi tersebut diciptakan untuk menjawab permasalahan validasi dan verifikasi yang kerap menjadi hambatan dalam aktivitas pemantauan, terutama yang dimediasi oleh media sosial. Walau adopsi MataMassa masih terbatas untuk warga yang berdiam di wilayah urban, inovasi tersebut dan berbagai inisiatif yang bermunculan dari individu dan kelompok masyarakat sipil harus terus diupayakan demi mendukung realisasi Pemilihan Umum yang transparan dan akuntabel di masa mendatang.[3]

Dalam makalah ini, penulis akan membahas selentingan mengenai MataMassa yang amat populer dan sering didengar ketika masa Pemilu beberapa bulan yang lalu, dengan kaitannya dengan Hak Kekayaan Intelektual yang menjadi pembuka dan inti dari pembuatan makalah ini.

  1. Identifikasi Masalah
  2. Apa itu MataMassa?
  3. Apa kaitannya dengan Hak Cipta?
  4. Dan apa bentuk perlindungan HKI bagi aplikasi MataMassa ini?
  5. Tujuan Penulisan
  6. Mengetahui apa saja bentuk perlindungan HKI di Indonesia sesuai peraturan yang berlaku.
  7. Mengetahui apa perbedaan copyright dan copyleft.
  8. Mengetahui sekilas tentang MataMassa dan kaitannya dengan hak cipta.

 

 

 

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

  1. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual

Hak Kekayaan Intelektual merupakan bagian hukum yang berkaitan dengan perlindungan usaha-usaha kreatif dan investasi ekonomi dalam usaha kreatif. Berdasarkan Trade Related Aspect Of Intellectual Property Rights (TRIPs) yang merupakan perjanjian Hak-Hak Milik Intelektual berkaitan dengan perdagangan dalam Badan Perdagangan Dunia (WTO), Hak Kekayaan Intelektual ini meliputi copyrights (hak cipta), dan industrial property (paten, merek, desin industri, perlindungan integrated circuits, rahasia dagang dan indikasi geografis asal barang). Di antara hak-hak tersebut, hak cipta yang semula bernama hak pengarang (author rights) terbilang tua usianya. Pada pokoknya hak cipta bertujuan untuk melindungi karya kreatif yang dihasilkan oleh penulis, seniman, pengarang dan pemain musik, pengarang sandiwara, serta pembuat film dan piranti lunak (software).Secara substantif maka pengertian Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dapat dijabarkan sebagai berikut: Hak atas kekayaan yang timbul karena kemampuan intelektual manusia berupa ciptaan-ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni, sastra dan teknologi yang dihasilkan oleh manusia melalui kemampuan intelektualnya menggunakan daya, cipta, rasa dan karsanya.

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan padanan dari bahasa Inggris Intellectual Property Right. Dari kata “intelektual”, tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut adalah kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of the Human Mind)[4]

Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual secara Internasional dimulai dengan disetujuinya Paris Convention pada tahun 1883 di Brussels, yang mengalamai beberapa perubahan terakhir di Stockholm tahun 1979. Paris Convention ini mengatur mengenai perlindungan hak milik perindustrian.Tujuan dibentuknya Paris Convention adalah suatu uniform untuk melindungi hak – hak  para penemu atas karya-karya cipta di bidang milik perindustrian.[5]

Hak Kekayaan Intelektual berbeda dengan hak milik/kekayaan nyata/real property karena hak Kekayaan Intelektual terjadi bukan karena satu ciptaan. Intelektual manusia berisikan:

  • Daya cipta,
  • Rasa,

Hal inilah yang membedakan HKI dengan real property.

Unsur – Unsur yang ada dalam Hak Kekayaan Intelektual :

  1. Hak (kepentingan seseorang yang dilindungi oleh Undang-Undang),
  2. Kekayaan (kepentingan yang bersifat immaterial),
  3. Dihasilkan karena kemampuan intelektual.

Hak Kekayaan Intelektual juga memiliki ciri khusus, dimana Hak Kekayaan Intelektual itu sendiri merupakan suatu bentuk kekayaan (yang bentuknya tidak berwujud/intangible) serta hak-hak yang melekat pada kekayaan intelektual sering tidak berdiri sendiri, melainkan ada suatu aspek lain yang turut menjunjung akan terbentuknya suatu kekayaan intelektual tersebut.

Hak Kekayaan Intelektual menimbulkan 3 macam konsepsi, diantaranya :

  1. Konsepsi kekayaan,
  2. Konsepsi hak,
  3. Konsepsi perlindungan hukum.

Hak Kekayaan Intelektual bersifat eksklusif tetapi tidak berarti bahwa Hak Kekayaan Intelektual merupakan wujud dari paham individualistik karena dengan diakuinya Hak Kekayaan Intelektual sebagai hak milik maka Hak Kekayaan Intelektual tidak bersifat individual karena hak milik itu bersifat sosial, yang mana jika masyarakat memerlukan maka boleh dilisensikan atau dialihkan kepada orang lain.

Dalam menjaga keseimbangan antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban dikenal adanya justifiable compromise, yaitu perlu adanya keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara hak cipta seseorang yang perlu untuk dilindungan secara individual dengan kepentingan masyarakat luas atau fungsi sosialnya hak cipta[6], salah satu contohnya adalah diberikannya kelonggaran terhadap perbuatan-perbuatan tertentu (penggunaan yang layak/fair dealing) sebagai perbuatan-perbuatan yang tidak melanggar hak cipta

Dasar Hukum Hak Kekayaan Intelektual :

  1. Undang-undang Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO)
  2. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
  3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta
  4. Undang-undang Nomor 14Tahun 1997 tentang Merek
  5. Keputusan Presiden RI No. 15 Tahun 1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization
  6. Keputusan Presiden RI No. 17 Tahun 1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty
  7. Keputusan Presiden RI No. 18Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works
  8. Keputusan Presiden RI No. 19Tahun 1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty

 

  1. Hak Cipta

Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Termasuk ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra dan seni. Dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hak cipta pada dasarnya diberikan terhadap ciptaan dalam ruang lingkup bidang ilmu pengetahuan, kesenian, dan kesusasteraan. Hak cipta hanya diberikan secara eksklusif kepada pencipta, yaitu “seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi”.

Beberapa Konvensi Internasional yang mengatur tentang Hak Cipta :

  1. Konvensi Bern 1886 tentang Perlindungan Karya Sastra dan Seni

Konvensi ini memuat tiga prinsip dasar berupa sekumpulan ketentuan yang mengatur tentang standar minimum perlindungan hukum yang diberikan kepada pencipta dan juga memuat sekumpulan ketentuan yang berlaku khusus bagi negara – negara berkembang. Diantaranya :

  • Prinsip national treatment
  • Prinsip automatic protection
  • Prinsip independence of protection
  1. Konvensi Hak Cipta Universal 1955

Konvensi ini pada intinya menetapkan ketentuan sebagai berikut :

  • Adequate and efective protection
  • National treatment
  • Formalities
  • Duration of protection
  • Translation rights
  • Jurisdiction of the International court of justice
  • Bern safeguard clause
  1. Convention for the protection of performers, producers, of phonogram and broadcastion organization (Rome convention/Neighboring Convention) 1961.
  2. Convention for the Protection of producers of Phonogram against unauthorized duplication of their Phonogram (Geneva Convention) 1971.
  3. Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs) 1994.
  4. WIPO Copyright Treaty (WCT) 200
  5. WIPO Performances and Phonogram Treaty (WPPT) 2002.

Dasar Hukum perlindungan hak cipta dalam hukum nasional adalah :

  1. Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
  2. PP Nomor 7 Tahun 1989 tentang Dewan Hak Cipta
  3. PP Nomor 1 Tahun 1989 tentang Penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan untuk Kepentingan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Penelitian dan Pengembangan
  4. KEPPRES Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention
  5. KEPPRES Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty

Hak cipta dibagi menjadi 2 aspek, yaitu :

  1. Hak ekonomi adalah hak yang dimiliki pencipta untuk memperoleh keuntungan ekonomi atas ciptaannya. Dapat dieksploitasi, dapat dialihkan jika pencipta tidak akan mengeksploitasi sendiri.Meliputi:
  • Hak memperbanyak,
  • Hak mengumumkan,
  • Hak adaptasi, yaitu penyesuaian (misal terjemahan),
  • Hak pertujukkan (misal pertunjukkan drama, dsb.).

 

  1. Hak moral adalah hak yang melindungi kepentingan pribadi atau reputasi pencipta. Tidak dapat dieksploitasi tidak dapat dialihkan oleh pencipta/melekat selamanya pada pencipta bak waktu hidup maupun setelah wafat. Meliputi:
  • Hak untuk menuntut pemegang hak cipta supaya nama pencipta tetap dicantumkan pada ciptaannya,
  • Hak untuk tidak dilakukan perubahan,
  • Hak untuk mengadakan perubahan pada ciptaannya.
  • Pada umumnya hak cipta bersifat eksklusif tetapi ada pengecualian yaitu bagi hak cipta yang bersifat public domain ataupun yang anonim.

 

Ada empat prinsip dalam sistem HKI untuk menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat, sebagai berikut, :[7]

  1. Prinsip Keadilan
  2. Prinsip Ekonomi
  3. Prinsip Kebudayaan
  4. Prinsip Sosial

 

Definisi mengenai Seputar Hak Cipta dalam Undang – Undang Hak Cipta 2014 antara lain sebagai berikut :

  • Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.
  • Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.
  • Pemegang hak cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah.
  • Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak eksklusif bagi pelaku pertunjukan, producer fonogram, atau lembaga Penyiaran.
  • Pelaku Pertunjukan adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menampilkan dan mempertunjukkan suatu Ciptaan.
  • Produser Fonogram adalah orang atau badan hukum yang pertama kali merekam dan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perekaman suara atau perekaman bunyi, baik perekaman pertunjukan maupun perekaman suara atau bunyi lain.
  • Lembaga Penyiaran adalah penyelenggara Penyiaran, baik lembaga Penyiaran publik, lembaga Penyiaran swasta, lembaga Penyiaran komunitas maupun lembaga Penyiaran berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
  • Program Komputer adalah seperangkat instruksi yang diekspresikan dalam bentuk bahasa, kode, skema, atau dalam bentuk apapun yang ditujukan agar komputer bekerja melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu.
  • Potret adalah karya fotografi dengan objek manusia.
  • Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun baik elektronik atau non elektronik atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.
  • Penggandaan adalah proses, perbuatan, atau cara menggandakan satu salinan Ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apapun, secara permanen atau sementara.
  • Fiksasi adalah perekaman suara yang dapat didengar, perekaman gambar atau keduanya, yang dapat dilihat, didengar, digandakan, atau dikomunikasikan melalui perangkat apapun.
  • Fonogram adalah Fiksasi suara pertunjukan atau suara lainnya, atau representasi suara, yang tidak termasuk bentuk Fiksasi yang tergabung dalam sinematografi atau Ciptaan audiovisual lainnya.
  • Penyiaran adalah pentransmisian suatu Ciptaan atau produk Hak Terkait tanpa kabel sehingga dapat diterima oleh semua orang di lokasi yang jauh dari tempat transmisi berasal.
  • Komunikasi kepada publik yang selanjutnya disebut Komunikasi adalah pentransmisian suatu Ciptaan, pertunjukan, atau Fonogram melalui kabel atau media lainnya selain Penyiaran sehingga dapat diterima oleh publik, termasuk penyediaan suatu Ciptaan, pertunjukan, atau Fonogram agar dapat diakses publik dari tempat dan waktu yang dipilihnya.
  • Pendistribusian adalah penjualan, pengedaran, dan/atau penyebaran Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait.
  • Kuasa adalah konsultan kekayaan intelektual, atau orang yang mendapat kuasa dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait.
  • Lisensi adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak Terkait dengan syarat tertentu.
  • Royalti adalah imbalan atas pemanfaatan Hak Ekonomi suatu Ciptaan atau Produk Hak Terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait.
  • Lembaga Manajemen Kolektif adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.
  • Pembajakan adalah Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi.
  • Penggunaan Secara Komersial adalah pemanfaatan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar.
  • Ganti rugi adalah pembayaran sejumlah uang yang dibebankan kepada pelaku pelanggaran hak ekonomi Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/atau pemilik Hak Terkait berdasarkan putusan pengadilan perkara perdata atau pidana yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian yang diderita Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/atau pemilik Hak Terkait.
  • Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
  • Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.

Pada dasarnya yang dilindungi Undang – Undang Hak Cipta 2014 adalah pencipta yang atas inspirasinya menghasilkan setiap karya dalam bentuk khas dan menunjukkan keasliannya di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Perlu ada keahlian intelektual pencipta untuk dapat menciptakan karya cipta yang dilindungi hak cipta. Ciptaan yang lahir harus mempunyai bentuk yang khas dan menunjukkan keaslian sebagai ciptaan seorang atas adasr kemampuan dan kreatifitasnya yang bersifat pribadi pencipta.

Dalam pasal 40 (1) Undang – Undang Hak Cipta 2002 menetapkan ciptaan – ciptaan apa saja yang dilindungi. Mencakup :

  1. buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;
  2. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;
  3. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
  4. lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;
  5. drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
  6. karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;
  7. karya seni terapan;
  8. karya arsitektur;
  9. peta;
  10. karya seni batik atau seni motif lain;
  11. karya fotografi;
  12. Potret;
  13. karya sinematografi;
  14. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;
  15. terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional;
  16. kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya;

q.kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;

  1. permainan video; dan
  2. Program Komputer.

 

  1. Konten Hak Cipta dan Hak Terkait dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi

Pasal 54 Undang-Undang Hak Cipta telah menjelaskan mengenai ini secara terperinci;

Untuk mencegah pelanggaran Hak Cipta dan Hak Terkait melalui sarana berbasis teknologi informasi, Pemerintah berwenang melakukan:

  1. pengawasan terhadap pembuatan dan penyebarluasan konten pelanggaran Hak Cipta dan Hak Terkait;
  2. kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri dalam pencegahan pembuatan dan penyebarluasan konten pelanggaran Hak Cipta dan Hak Terkait; dan
  3. pengawasan terhadap tindakan perekaman dengan menggunakan media apapun terhadap Ciptaan dan produk Hak Terkait di tempat pertunjukan.
    BAB III

PEMBAHASAN

  1. MataMassa dan Kaitannya dengan Hak Cipta

 

Di dalam undang-undang hak cipta telah disebutkan bahwa “perlindungan suatu ciptaan timbul secara otomatis sejak ciptaan itu diwujudkan dalam bentuk yang nyata. Pendaftaran ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban untuk mendapatkan hak cipta. Namun demikian, pencipta maupun pemegang hak cipta yang mendaftarkan ciptaannya akan mendapatkan surat pendaftaran ciptaan yang dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan tersebut.

MataMassa adalah aplikasi pemantauan pemilihan umum (pemilu) legislatif dan presiden 2014 di seluruh wilayah Indonesia dengan konsentrasi di tujuh kota yaitu; Jakarta, Aceh, Semarang, Surabaya, Makassar, Padang, Yogyakarta dan Ambon. Aplikasi MataMassa dapat diunduh di telepon selular berbasis iOS, Android, maupun BlackBerry. MataMassa juga hadir dalam bentuk Short Message Service (SMS) Gateway. Siapapun diperbolehkan mengunduh aplikasi MataMassa, dan dapat langsung melaporkan temuan pelanggaran pemilu di lapangan melalui aplikasi tersebut. Tim verifikator MataMassa akan menindaklanjuti temuan dan kemudian mengunggah laporan di situs MataMassa.org. Hasil seluruh laporan dari publik akan diunggah di situs MataMassa.org, siapapun dapat melihat laporan terkini. Dengan slogannya: “Yuk Awasi Pemilu Kita!”, MataMassa mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mengawasi jalannya pemilu 2014 – agar ajang demokrasi besar tersebut berjalan dengan bersih dan transparan. MataMassa adalah proyek bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan iLab.[8]

MataMassa ini dibuat dengan tujuan yang mulia. Bagi tim MataMassa, sebagai bagian dari warga negara Indonesia yang menjunjung demokrasi, pemilu adalah sebuah layatan besar bangsa Indonesia, mereka sangat bangga bisa ikut berpartisipasi di dalamnya.

MataMassa memang didesain untuk keterlibatan pelaporan masyarakat dalam pengawasan pemilu, di samping ingin memicu keterlibatan masyarakat dalam proses edukasi atau pembelajaran tentang pelanggaran pemilu sangat efektif sekali dengan system dan aplikasi matamassa ini, di mana masyarakat bisa semakin memahami proses pelanggaran yang terjadi pada pemilu, dan ternyata didapati bahwa pelanggaran pemilu di Indonesia memang sangat tinggi.

Adapun dalam pembentukannya, MataMassa ini adalah salah satu pengembangan dari Ushahidi[9], dimana tim MataMassa juga ikut mengembangkan system Ushahidi tersebut sebelumnya, tetapi system MataMassa sudah mengalami perombakan besar didalam core system Ushahidi. MataMassa sudah direncanakan satu tahun sebelum pemilu 2014, dan dikuatkan dengan riset Perludem yang di tuangkan dalam buku berjudul “Pelibatan dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan Pemilu” Hal. 88 salah satu bentuk partipasi dan pengawasan pemilu dengan menggunakan teknologi untuk memudahkan pelapor yaitu masyarakat.

Dalam proses pembuatannya sendiri, tim pembuat MataMassa ini mengakui tidak ada begitu banyak kendala yang berarti. Tuturnya, kendala teknis tidak banyak bahkan hampir tidak ada karena sebelumnya tim Teknis MataMassa sudah pernah membuat system pelaporan pemantauan pemilu di Malaysia dan Kenya.

Lebih lanjut, saat ditanyakan mengenai proses hak cipta yang seharusnya mereka urus agar mendapatkan hak ekonomi serta moral yang layak, mereka menjawab bahwa mereka justru tidak pernah mendaftarkan MataMassa tersebut ke Dirjen HKI.

Untuk teknologi dan penyebaran pengetahuan, MataMassa menggunakan basis komunitas, sehingga untuk Hak Cipta, tim MataMassa ini menggunakan Creative Commons, suatu aturan hak cipta yang lebih mengacu pada copyleft bukan copyrights, dimana bisa di kembangkan oleh komunitas lain kemudian dikembangkan lagi sesuai kebutuhan tetapi mengikutkan atau mencantumkan pembuat sebelumnya.

Mereka menjelaskan bahwa mereka sama sekali tidak takut dicuri, jika komunitas ataupun pemerintah meminta teknologi ini, maka MataMassa akan memberikan secara cuma-cuma, itu sudah menjadi komitmen tim MataMassa yang menggunakan hak cipta copyleft yang disebut creative commons.

Copyleft pertama kali diperkenalkan oleh Richard M Stallman – seorang programmer yang bekerja untukMassachusets Institute of Technology (MIT) – pada akhir 1970. Kala itu, pekerjaan programming sangat kental dengan nuansa kerjasama, saling tukar source code dan saling memodifikasi program. Dalam dunia teknologi informasi ini pun, penggunaan copyleft berkembang dengan sangat pesat. Tidak hanya itu, beberapa produk copyleft telah mencapai keberhasilan yang cukup mencengangkan. Terdapat varian linux, web browser Mozilla firefox dan beberapa variannya serta server http dan apache yang telah merambah ke seluruh dunia, bahkan bagi beberapa kalangan menjadi kebutuhan wajib ketika menggunakan computer. Masyarakat tentu telah menyadari pentingnya kebebasan dalam penggunaan dan pemodifikasian perangkat lunak dan hasil karya teknologi informasi, tentu untuk perihal yang positif pula, yaitu kemudahan akses informasi.

Copyleft memanfaatkan aturan copyright (hak cipta), namun untuk tujuan yang bertolak belakang, bukan berarti untuk menjadi milik pribadi, namun agar perangkat lunak tetap bebas. Intinya, copyleft memberi izin untuk menjalankan program, melakukan penyalinan, modifikasi, serta mengedarkan hasil modifikasi tersebut tanpa menambahkan aturan penghalang kebebasan.

MataMassa ini pun murni ide dari tim pembuat MataMassa ini sendiri, jadi aplikasi ini tidak pernah sekali pun ada masalah dengan hukum yang mengatur mengenai Hak Kekayaan Intelektual.

Terakhir, salah satu tim pembuat MataMassa yang saya wawancarai, memberi komentar terkait Undang-Undang Hak Cipta yang baru, yakni: “Menurut saya jika suatu teknologi untuk penyebaran informasi dan ilmu pengetahuan sebaiknya tidak perlu menggunakan hak cipta copyrights tetapi menggunakan copyleft yang di sebut creative commons dengan semangat komunitas, bisa disunting atau disebarluaskan tetapi mengikutkan sumber aslinya”

 

 

BAB IV

PENUTUP

 

  1. Kesimpulan

Terkait dengan aplikasi MataMassa yang tidak ingin didaftarkan hak ciptanya oleh tim pembuatnya, diiringi pula dengan pengakuan mereka bahwa mereka menggunakan Creative Commons, yaitu aturan hak cipta yang mengacu pada copyleft, dan bukan copyights.

Copyleft tidak berambisi menjadikan suatu karya cipta sebagai milik pribadi, tetapi justru menginginkan agar karya cipta yang berbentuk perangkat lunak tersebut tetap bebas (free software). GNU yang menjadi referensi banyak penganut copyleft menjelaskan bahwa copyleft merupakan metode umum untuk membuat sebuah program menjadi perangkat lunak bebas, serta menjamin kebebasannya untuk semua modifikasi dan versi-versi pengembangan berikutnya.

Pada akhir dari pembahasan ini, dapat ditekankan hal-hal berikut: (1) Bahwa copyright adalah sebuah istilah hukum, sedangkan copyleft dan creative commons bukan, (2) Walaupun bukan istilah hukum, tetapi copyleft dan creative commons sesungguhnya adalah pelaksanaan dari hukum copyright, (3) Karena mereka adalah pelaksanaan dari hukum copyright, maka copyleft dan creative commons bukanlah istilah yang merujuk pada tindakan melawan hukum, seperti: pembajakan.

 

  1. Rekomendasi

Pada dasarnya, memang telah ada  semacam a way of thinking yang seragam, yakni semua hal yang kita ciptakan harus selalu kita daftarkan agar kita bisa mendapatkan perlindungan yang sah secara hukum. Namun ternyata masih ada pihak-pihak yang merasa tidak perlu mendaftarkan ciptaan miliknya, entah itu karena sebuah karya tersebut bukan untuk komersil, atau untuk media pembelajaran bagi khalayak. Terkuak dengan adanya istilah copyrights, atau copyleft. Dengan kata lain, masih ada banyak pihak yang tidak ingin mendaftarkan sebuah karya (milik mereka) yang tujuannya adalah demi kepentingan umum. Dan pada akhirnya, tentu kita tidak bisa memaksakan apakah mereka seharusnya mendaftarkan hasil karya mereka atau kah tidak.

Mengutip kalimat terakhir dari tim pembuat MataMassa ketika diwawancara, “Menurut saya jika suatu teknologi untuk penyebaran informasi dan ilmu pengetahuan sebaiknya tidak perlu menggunakan hak cipta copyrights tetapi menggunakan copyleft yang di sebut creative commons dengan semangat komunitas, bisa disunting atau disebarluaskan tetapi mengikutkan sumber aslinya”

 

 

 

Daftar Pustaka

Rachmad Usman, Hukum atas Hak Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan dimensi hukumnya di Indonesia, Alumni, Bandung, 2003

Asian Law Group, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 2011

Prof. Eddy Damian, S.H. Hukum Hak Cipta, Alumni, Bandung, 2009,

Yuliati, SOLUSI TERHADAP PELANGGARAN HAK CIPTA ATAS PROGRAM KOMPUTER(COMPUTER PROGRAMS) DI INDONESIA, Universitas Brawijaya, 2004.

WIPO

Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014

http://puskakomui.or.id/publikasi/infografik-inisiatif-pemantauan-matamassa.html

http://www.matamassa.org/page/index/3

 

Lampiran

 

 

 

 

 

[1] http://puskakomui.or.id/publikasi/infografik-inisiatif-pemantauan-matamassa.html diakses 01 Desember 2014, 20.35

[2] ibid

[3] ibid

[4] WIPO, 1988:3

[5] Rachmad Usman, Hukum atas Hak Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan dimensi hukumnya di Indonesia, Alumni, Bandung, 2003, hlm 9

[6] Prof. Eddy Damian, S.H. Hukum Hak Cipta, Alumni, Bandung, 2009, hlm 33

[7] Asian Law Group, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 2011, hlm 90

[8] http://www.matamassa.org/page/index/3 diakses 01 Desember 2014, pukul 20.30

[9] “Ushahidi”, berarti “testimony” dalam bahasa Swahili, adalah sebuah situs web yang awalnya di kembangkan untuk memetakan laporan dari kekerasan di Kenya setelah pemilihan umum di awal tahun 2008. Sejak itu nama “Ushahidi” merepresentasikan orang yang berada di belakang “Ushahidi Platform”. Dasar dari organisasi Ushahidi dalah kerjasama dari para citizen journalis saat terjadi krisis. Situs web original digunakan memetakan kekerasan dan usaha perdamaian di seluruh negeri berdasarkan laporan yang di masukan melalui web dan handphone. Situs ini mempunyai pengguna 45.000 di Kenya, yang menjadi katalisator bagi para developer bahwa sebuah platform seperti ini sangat dibutuhkan, yang dapat digunakan oleh banyak bangsa lain di dunia.

UAS Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian

Nama: Ulya Fajri Amriyeny

NPM: 110110120148

 

 

  1. apakah tepat Indonesia mengakui dwi kewarganegaraan bagi para diaspora Indonesia?

Menurut saya, Indonesia memang harus mengakui dwi kewarganegaraan bagi para diaspora Indonesia. Pengakuan ini akan memberikan efek yang timbal balik, baik untuk Indonesia sendiri, maupun para anggota Diaspora Indonesia tersebut. Berbagai studi pun menunjukkan lebih banyak manfaat positif dari Dwi Kewarganegaraan ketimbang efek negatifnya. Dapat pula dilakukan penerapan DK secara selektif, yaitu selektif dalam memilih dengan negara mana RI akan melakukan perjanjian bilateral mengenai DK, dan selektif dalam menentukan subjek penerima Dwi Kewarganegaraan, agar tidak sembarang orang (oknum) bisa masuk dan menjadi diasora Indonesia.

Diaspora Indonesia, menurut Dino Patti Jalal, ialah Semua orang di luar negeri yang berdarah, berjiwa dan berbudaya Indonesia – baik yang masih WNI maupun yang sudah menjadi WNA.[1] Adapun dwi kewarganegaraan adalah status kewarganegaraan seseorang yang bersifat ganda. Biasanya kewarganegaraan yang kedua diperoleh dari negara dimana yang bersangkutan menetap. Namun, tidak setiap negara mengakui Dwi Kewarganegaraan. Lebih dari 60 negara di dunia memiliki hukum Dwi Kewarganegaraan, sejumlah negara lainnya tidak, sementara memiliki hukum setara dengan dwi kewarganegaraan.[2]

Dari segi hukum internasional saja, Indonesia sebagai salah satu anggota PBB, telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang bertumpu pada Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia, dalam bentuk UU no.12 tahun 2005. UDHR pun dapat menjadi sumber, yakni pasal 13, 15 dan 17.

  1. Jika Sdr. tidak setuju Indonesia menganut dwi kewarganegaraan, menurut Sdr. apa solusi terbaik bagi masalah para diaspora Indonesia di luar negeri?

Pada hakikatnya, saya setuju dengan wacana pengakuan dwi kewarganegaraan bagi diaspora Indonesia. Namun, jika memang hal tersebut sebegitu tidak mungkinnya, selama masa transisi ini, menurut saya, dapatlah diberikan paspor atau surat khusus untuk mempermudah mereka datang kembali ke Indonesia, tanpa harus dipersulit oleh birokrasi.

Pemerintah agaknya perlu membuat semacam “Kartu Diaspora” untuk memudahkan diaspora Indonesia memperoleh berbagai izin untuk ikut membangun tanah tumpah darahnya.[3]

 

  1. UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dibentuk dalam suasana globalisasi yang menguat di berbagai sektor kehidupan, termasuk segala bentuk dampak positif dan negatifnya, serta menguatnya pengakuan HAM secara universal. Selain itu, urusan keimigrasian sebagai urusan pemerintahan bersifat dinamis yang terus berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat. Menurut Sdr., masalah hukum apa yang belum terjawab oleh UU No. 6 Tahun 2011? Jelaskan dan buktikan bahwa masalah tersebut belum terjawab dengan UU No. 6 Tahun 2011, serta uraikan mengapa masalah tersebut begitu penting untuk direspon dengan UU Keimigrasian!

Lahirnya undang-undang No. 6 Tahun 2011 tentang keimigrasian telah membawa dampak besar dalam arah Politik Hukum Keimigrasian di Indonesia terutama tehadap hak dan kewajiban orang asing di Indonesia baik yang bekerja sebagai tenaga ahli ataupun yang menikah dengan WNI. Lahirnya undang-undang ini bukan tanpa kendala, melainkan masih ada disharmonisasi dengan undang-undang ketenagakerjaan. Politik hukum pemberian izin tinggal terbatas bagi WNA yang bekerja di Indonesia adalah berdasarkan pada asas manfaat secara ekonomi yang dijalankan berasarkan selective policy dengan mengedepankan perlindungan terhadap tenaga kerja dalam negeri dan memberikan keuntungan atau manfaat secara ekonomi dan ilmu pengetahuan dan teknologi ( IPTEK) kepada Negara. Sedangkan Politik hukum pemberian izin tinggal terbatas terhadap WNA yang menikah dengan WNI di Indonesia berdasarkan pada asas kesetaraan gender dan non diskriminasi serta penghormatan terhadap Hak Asasi Warga negaranya.[4]

Masalah ini menjadi penting untuk dibahas sebab hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum kepada WNA, karena disatu sisi Undang-undang Keimigrasian memperbolehkan WNA pemegang ITAS atas sponsor Istri untuk melakukan usaha di Indonesia, sedangkan arah Politik hukum Ketenagakerjaan membatasi WNA dalam melakukan usaha dan bekerja di Indonesia. Dalam undang-undang Keimigrasian juga mengatur bahwa pelanggaran terhadap Undang-undang lain di Indonesia dapat dikenakan tindakan Admnistrasi Keimigrasian berupa Deportasi. Oleh karenanya Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap WNA untuk berusaha dan bekerja di Indonesia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya.[5] Maka jika aturan mengenai ini masih kurang diperhatikan, berarti secara tidak langsung, negara telah membiarkan warganya tidak memiliki pekerjaan dan pada akhirnya hanya menambah kerugian pada negara.

“Politik hukum harus bisa menjembatani semua persoalan, tentunya juga bisa melaksanakan perlindungan hak warga negara yang sudah diamanatkan konstitusi.”[6]

 

  1. Apakah MEA 2015 akan mendorong terjadinya migrasi illegal akibat liberalisasi tenaga kerja di negara-negara anggota ASEAN?

Jika diatur secara tepat sasaran dan diawasi secara total, maka seharusnya migrasi ilegal tersebut tidak dapat terjadi. Terlebih dalam adanya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 02 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa tenaga kerja asing dapat bekerja di Indonesia melalui prinsip sponsorship dan tidak diizinkan perseorangan sebagai sponsor. Tenaga kerja asing hanya dapat bekerja untuk jabatan direktur, manajer dan technical expert serta tidak boleh menduduki jabatan yang berkaitan dengan personalia. Persyaratan jabatan tenaga kerja asing mengacu kepada standar kompetensi dan dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.[7]

Blueprint MEA yang ditandatangani petinggi ASEAN pada 2007 pun hanya mengakomodasi liberalisasi tenaga kerja profesional (skilled labor), bukan tenaga menengah rendah (middle-low skilled labor).[8] Dan hal ini tentu akan mengurangi kemungkinan terjadinya migrasi ilegal antar sesama negara, terutama ke Indonesia.

  1. Menurut Sdr. apa yang harus dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN atau kebijakan tingkat regional ASEAN untuk menghadapi MEA 2015 di bidang hukum keimigrasian?

Yaitu dengan meningkatkan pengaturan serta pengawasan antar masing-masing negara, khususnya dalam bidang hukum keimigrasian ini, yang bisa dikatakan sebagai “kunci” masuk-keluarnya orang dari sebuah negara. Sehingga tujuan baik yang hendak dicapai oleh MEA ini tidak sekadar menjadi “tujuan” yang tak pernah tercapai. Segalanya harus benar-benar “jelas” dalam tatanan hukum yang mengikat antarmasing-masing negara.

Dan sekali lagi, bukan hanya soal pembentukan pengaturan yang baik, harus ada juga pengawasan yang baik. Keduanya harus berjalan seimbang. Misalnya saja, tetap harus ada pengawasan yang langsung oleh pengawas ketenagakerjaan di tingkat pusat dan daerah ke berbagai perusahaan. Pengawasan itu melibatkan pihak imigrasi, kepolisian dan instansi terkait lainnya. Pengawasan itu salah satunya adalah melakukan pemeriksaan dokumen si pekerja asing seperti RPTKA, Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), SK TKI Pendamping, KITAS dan Polis Asuransi.[9]

[1] Booklet seminar Dwikewarganegaraan RI, hlm. 5

[2] ibid

[3] Rekomendasi Usulan Seminar Dwi Kewarganegaraan 2014, hlm. 3 (pdf)

[4] Charles Christian, POLITIK HUKUM PEMBERIAN IZIN TINGGAL TERBATAS BAGI WNA YANG BEKERJA DAN ATAU MENIKAH DI INDONESIA, Jurnal Universitas Brawijaya, hlm. 2

[5] Ibid, hlm. 12

[6] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d2eaec6cce06/wna-perlu-diberi-izin-tinggal-lebih-lama-di-indonesia diakses 17 Desember 2014

[7] Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 02 Tahun 2008

[8] Gusmardi Bustami, Menuju ASEAN Economic Community 2015, Departemen Perdagangan RI, hlm. 40

[9] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt521b2f958e846/pekerja-lokal-harus-siap-bersaing diakses 17 Desember 2014

UAS Kapita Selekta HTN

Nama: Ulya Fajri Amriyeny

NPM: 110110120148

 

  1. Dalam praktek penyelenggaraan pemilu di dunia terdapat beberapa bentuk affirmative action, jelaskan berdasarkan teori-teori yg saudara pahami mengapa affirmative action perlu dilakukan, dan berikan perbandingan pelaksanaannya di Indonesia dan negara lainnya yang saudara ketahui?

Affirmative action pada dasarnya adalah suatu kebijakan yang diskriminatif, walaupun dipandang termasuk genre diskriminasi yang positif karena sifatnya hanya sementara demi membuka kesempatan bagi kelompok masyarakat tertentu meraih peluang yang sama sebagaimana telah dinikmati oleh kelompok masyarakat lainnya.

Salah satu ketentuan dalam  pasal 28 H ayat (2) UUD 1945 pun, jika diperinci, “menghalalkan” bentuk affirmative action ini. “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Atau dengan kata lain dapatlah disebut dengan  affirmative action sebagai diskriminasi yang bersifat positif. Perlakuan khusus dalam bentuk diskriminasi positif ini dipandang dapat diterima sepanjang dimaksudkan untuk tujuan mencapai persamaan dan keadilan sebagaimana dimaksud oleh pasal ini.

Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif) pun telah mengakomodasi tindakan afirmatif bagi perempuan. Di antaranya ketentuan yang menyatakan dalam daftar calon legislatif minimal harus ada 30% persen perempuan.[1]

Pada pelaksanaannya sendiri, Indonesia masih tertinggal jauh di bawah dalam hal keterlibatan perempuan ini. Pada pemilu 2009 lalu saja, jumlah perempuan terpilih sebagai anggota DPR masih 102 orang atau 18%. Dan  jika dibandingkan dengan negara lain di dunia, Indonesia hanya menempati peringkat 75. Jauh di bawah Rwanda (56.3 persen), Andorra (50 persen), dan Kuba (45,2 persen).

Adapun di negara lain[2], affirmative action ini tetap dilakukan, seperti saja  Perancis yang melakukan sedikit pemaksaan, yaitu melalui Parity Law pada tahun 1999. Parity Law yang merupakan amandemen konstitusi ini mensyaratkan setiap parpol menyertakan 50 persen caleg perempuan. Jika sebuah parpol gagal memenuhi kualifikasi itu, pemerintah memberlakukan penalti dalam bantuan keuangan.

Di Argentina, regulasi kuota bahkan bersifat wajib untuk dipenuhi setiap parpol. Ley de Cupos yang diundangkan pada tahun 1991 mengatur setiap parpol untuk   paling tidak memenuhi 30 persen caleg perempuan dalam proporsi yang memiliki kemungkinan untuk terpilih. Karena itu, parpol tidak dibolehkan memuat perempuan di urutan belakang dalam daftar caleg yang diajukan. Bagi parpol yang gagal memenuhi kualifikasi tersebut, akan ditolak berkompetisi dalam pemilu. Sebagai hasil dari produk hukum ini, terjadi kenaikan representasi perempuan di tingkat DPR Argentina pada tahun 1993, menjadi 21,3 persen. Pada tahun 1991 tingkat partisipasi perempuan di DPR Argentina adalah 4,6 persen.

Di Belgia, Electoral Act yang diundangkan tanggal 24 Mei 1994 membatasi setiap parpol untuk tidak mengajukan caleg yang berjenis kelamin sama lebih dari 2/3 bagian. Jika sebuah parpol tidak mampu melaksanakan UU ini, daftar caleg harus dibiarkan kosong atau bahkan dianggap tidak sah (Global Database of Quotas for Women, dikutip oleh Norris, 2003).

Bentuk lain dari affirmative actions adalah kebijakan kursi jatah yang dicadangkan untuk perempuan Banglades. Sebelum tahun 2001, Banglades mempraktikkan kebijakan yang mencadangkan 30 kursi khusus untuk perempuan dari 330 kursi yang tersedia.

Dalam kasus yang lain, pada Pemilu 2002, Pakistan mencadangkan 60 dari 342 kursi yang diperebutkan di tingkat DPR atau sekitar 17 persen, dan di tingkat DPRD 33 persen. Praktik serupa dilakukan oleh Jordania melalui UU Pemilu pada tahun 2001 yang menunjuk enam perempuan dari 110 kursi di tingkat DPR.

Indonesia harus belajar banyak dari negara-negara lain. Agar segala aturan yang telah dibuat tidak sekadar jadi pemanis di kertas. Dapat kita lihat pada negara-negara itu, partisipasi  dan keterwakilan perempuan signifikan menghasilkan kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan perempuan. Untuk itu, regulasi kuota di Indonesia yang tidak wajib sifatnya tidak cukup karena tidak menjamin meningkatnya akses perempuan di parlemen. Terlebih lagi, ada kesan bahwa apa yang selama ini dilakukan oleh parpol-parpol di negara kita  “hanya“ merupakan bentuk respons dari regulasi pemerintah, bukan mekanisme internal parpol yang mereka buat sendiri. Diperlukan aturan yang lebih „memaksa“, baik dari pemerintah maupun dari internal partai, agar affirmative action ini menjadi efektif.

  1. Penyelenggaraan pemilu di Indonesia pada tahun 2014 menghasilkan dua koalisi besar yaitu KIH sebagai pendukung pemerintah, dan KMP sebagai oposisi, berikan analisis hukum mengenai keberadaan koalisi tersebut dan pengaruhnya pada sistem pemerintahan

Indonesia, sebagaimana yang kita ketahui, adalah salah satu negara yang menjunjung tinggi demokrasi.

Dan sejak terpilihnya presiden Indonesia 2014 yang baru, meruaklah kisruh di DPR akibat adanya persaingan antara koalisi merah putih (KMP) dan koalisi indonesia hebat (KIH).. Kedua belah pihak mengklaim pihak yang sah sebagai manifestasi lembaga legislatif di negara ini.  Hal ini kian mencoreng citra DPR yang sejak lama telah mendapat sorotan tajam dari masyarakat.[3]

Pada dasarnya apa yang terjadi di DPR saat ini, dengan terbentuknya pimpinan DPR tandingan itu sesungguhnya akan menghambat laju dan perkembangan demokrasi. Dalam perspektif Hukum Tata Negara, jelas tindakan demikian tersebut tidak ada landasan hukum yang dapat melegitimasinya. Dengan kata lain, dapatlah kita katakan bahwa tindakan tersebut adalah inkonstitusional.

Berikut akan diutarakan beberapa analisis hukum[4] mengenai masalah ini:

Pertama, KIH dalam rapat paripurna pemilihan pimpinan DPR sudah mengakui terpilihnya pimpinan DPR sebelumnya. Meskipun pada waktu itu seluruh fraksi yang mengatasnamakan diri sebagai KIH telah Walk Out (WO), tetapi WO-nya KIH di sini harus dimaknai telah mengakui seluruh pimpinan DPR yang berasal dari KMP, yang pada dasarnya terpilih secara aklamasi. Oleh karena untuk mengajukan calon pimpinan DPR harus memenuhi syarat lima fraksi yang mengajukan, dan KIH memang minus satu fraksi pada waktu itu, hanya memiliki empat fraksi. Maka logika konstitusinya, hanyalah pimpinan DPR yang sudah dipilih bersama tersebutlah yang konstitusional, sementara DPR tandingan murni inkonstitusional.

Kedua, dasar pembentukan DPR tandingan karena karena mosi tidak percaya pada pimpinan DPR sebelumnya, juga dapat dikatakan sebagai legal reasoning yang sesat, keliru, bahkan tidak berdasar. Sebab dasar hukum mengajukan mosi tidak percaya dalam praktik kebiasaan hukum ketatanegaraan, maka terlebih dahulu lembaga itu harus telah melakukan kelalaian atau penyimpangan dari tanggung jawabnya.

Ketiga, jika kita membuka dan  menelusuri dasar hukumnya, baik dalam UUD NKRI 1945 sampai peraturan di bawahnya, terutama UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Satupun tidak ada pasal/ketentuan yang membuka “pintu tafsir” bagi anggota DPR maupun sekumpulan fraksi, kiranya dapat mengajukan mosi tidak percaya seputar masalah internalnya. Yang nyata-nyata ada, bahwa setiap anggota DPR dalam menjalankan setiap fungsi-fungsinya, ketika diantara mereka “sulit mendapatkan titik temu”, maka harus menyelesaikannya dengan cara musyawarah mufakat. Dan kalau musyawarah mufakat tidak tercapai, maka berlanjut dengan sistem voting.  Oleh karena itu, tindakan mosi tidak percaya yang dilakukan oleh KIH adalah tidak jelas landasan hukumnya. Sehingga benarlah, kalau tindakan itu dikatakan lagi-lagi inkonstitusional.

Keempat, terkait adanya kecurigaan dan ketakutan dari KIH jika semua posisi strategis “disapu bersih” oleh KMP kelak, akan menghambat kinerja Presiden bersama dengan Menterinya. Lagi-lagi argumentasi hukum tersebut bukan bagian dari ‘legal isue” hukum ketatanegaraan, dan hanya berdasarkan pada kecurigaan dan ketakutan. Dan dengan deadlock-nya DPR dalam situasi sekarang, malah akan menghabat kinerja pemerintahan Jokowi-JK (bahkan tidak menutup kemungkinan pemerintahan akan mengalamai shutdown). Sebab bagaimana mungkin fungsi check and balance dua organ kekuasaan, DPR dan Presiden dapat menjalankan segala fungsinya, kalau DPR tidak pernah solid untuk menjalankan segala tugas dan kewenangannya, hanya karena kekuasaan saja.

 

  1. Berdasarkan tugas mengenai pemilu yang saudara buat, kemukakan permasalahan mendasar yang ada dan berikan solusinya.

Jika diteliti secara lebih mendalam, terdapat beberapa permasalahan mendasar dalam pemilu di negara Indonesia.

Bisa dari metode pelaksanaan pemilu yang ada. Saya lebih sepakat pada metode yang ditawarkan oleh perludem. Yakni, keserentakan antar masing-masing pelaksanaan pemilihan umum antara nasional dan daerah. Pemilu untuk Nasional dapat dibatasi pada Presiden, DPR, dan DPD. Sedangkan Pemilu Daerah mencakup pemilihan DPRD dan Kepala daerah. Dan pemilihan jabatan publik daerah itu, hendaknya dilakukan di tengah-tengah masa jabatan publik nasional. Alasan utamanya adalah agar masa jabatannya bisa sama, termasuk waktu diangkat dan diturunkannya, sebab mereka, masing-masingnya, adalah “partner”. Dan perbedaan waktu itu tidak akan mengganggu kinerja masing-masing pejabat publik (nasional atau daerah) tersebut.

Masalah kedua, ialah penentuan apakah memilih itu adalah hak ataukah kewajiban. Kita semua tahu bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, dan pemilu adalah sebagai mekanisme untuk memfasilitasi kedaulatan rakyat tersebut. Oleh sebab itulah memilih dapatlah dianggap sebagai hak, karena mereka melakukannya semata-mata untuk memenuhi kedaulatannya sendiri. Maka, sejatinya, rakyat tersebut tidak dapat dipaksa untuk melaksanakan hak pilihnya itu. Namun tetap saja, pilihan reformasi bagi Indonesia harus didukung dengan partisipasi aktif warganya. Jika menginginkan produk hukum dan kebijakan yang responsive dan populis, maka memilih pemimpin dan wakil rakyat yang prodemokrasi, prokesejahteraan, properbaikan merupakan suatu keharusan. Maka, menggunakan hak pilih adalah suatu tindakan yang lebih baik dibandingkan tidak menggunakan hak pilih. Rakyat Indonesia, di seluruh lapisannya, harus telah memiliki kesadaran yang tinggi mengenai ini.

Adapun masalah ketiga, ialah hak anggota TNI dan POLRI untuk berpartisipasi dalam pemilu yang seolah-olah  “dikebiri”. Untuk saat ini, setiap anggota TNI dan Polri tetap tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Hal ini sejalan dengan masa lalu, yakni ketika TNI dan Polri dilibatkan dalam politik, namun semakin banyak terjadi penyimpangan yang pada akhirnya merugikan negara dan segenap warganya. TNI dan POLRI bisa saja mendapatkan kembali hak untuk memilih tersebut, asalkan telah ada Undang-undang yang mengaturnya, dan juga jika hal tersebut telah menjadi konsensus bersama dalam undang-undang. Maka TNI dan Polri akan bisa menggunakan hak pilih mereka, jika telah diberikan kewenangan oleh undang-undang.

Masalah keempat ialah mengenai terlalu sedikitnya perempuan yang turut ambil bagian menjadi peserta pemilu/ caleg, padahal telah ada affirmative action yang mendukung. Menurut saya, apapun sistem pemilunya haruslah memberi kewajiban pada partai politik untuk memberikan 30% minimal kepada perempuan dan jika tidak dipenuhi, maka partai politik tersebut harus gugur dan tidak dapat melakukan proses pencalonan. Jika keterwakilan perempuan ini diatur sebagai syarat, dan tidak mampu dipenuhi, maka parpol tersebut tentu akan gugur dengan sendirinya. Maka partai politik tersebut akan berusaha mencari wakil-wakil terbaik agar mereka tetap bisa maju hingga tahap akhir dan akan terjadi persaingan yang sehat dan bisa diandalkan antar masing-masing individu maupun partai politik, juga akan makin terlihatnya perempuan-perempuan yang memang berkompeten dalam pencalonan tersebut.

Adapun masalah terakhir dalam pemilu ini, sepenglihatan saya, adalah mengenai perkara sengketa pemilu di Indonesia dan lembaga apa yang seharusnya menanganinya. Menurut saya, MK sendiri telah menjadi lembaga yang sangat tepat untuk menangani perkara sengketa pemilu ini, karena sesungguhnya pemilu itu sendiri merupakan mekanisme yang ditempuh agar terwujudnya kedaulatan rakyat. Maka, dengan kata lain, MK sangatlah tepat untuk menyelesaikan sengketa pemilu tersebut. Dan, MK selayaknya tidak hanya menyelesaikan sengketa soal hasil, tapi juga antara kaitannya dengan konstitusinya.

 

 

[1] http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6904/affirmative-action diakses 18 Desember 2014

[2] http://www.watchindonesia.org/Kompas_19.01.04.htm diakses 18 Desember 2014

[3]http://www.theglobalreview.com/content_detail.php?lang=id&id=16623&type=2#.VJPI614BiA diakses 18 Desember

[4] https://phenabiru.wordpress.com/tag/kih-vs-kmp/ diakses 18 Desember 2014

Mekanisme Penyelesaian Sengketa dengan Cara Diplomasi

Mekanisme Penyelesaian Sengketa dengan Cara Diplomasi.

  1. Negosiasi: Menurut Huala Adolf, negosiasi adalah perundingan yang diadakan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. Dialog tersebut biasanya lebih banyak diwarnai pertimbangan politis atau argumen hukum. Namun demikian, dalam proses negosiasi atau dialog tersebut, adakalanya argumen-argumen hukum cukup banyak berfungsi memperkuat kedudukan para pihak. Manakala proses ini berhasil, hasilnya biasanya dituangkan dalam suatu dokumen yang memberinya kekuatan hukum. Misalnya hasil kesepakatan negosiasi yang dituangkan dalam bentuk suatu dokumen perjanjian perdamaian.[1]
  2. Konsiliasi: Konsiliasi menurut The Institue of International Law melalui Regulations on the Procedure of International Concilition yang diadopsi pada tahun 1961 dalam Pasal 1 dinyatakan sebagai suatu metode penyelesaian pertikaian bersifat intenasional dalam suatu komisi yang dibentuk oleh pihakpihak, baik sifatnya permanen atau sementara berkaitan dengan proses penyelesaian pertikaian.[2]
  3. Mediasi: Mediasi atau perantaraan merupakan negosiasi tambahan, tapi dengan mediator atau perantara sebagai pihak yang aktif, mempunyai wewenang, dan memang diharapkan, untuk mengajukan proposalnya sendiri dan menafsirkan, juga menyerahkan, masing-masing proposal satu pihak pada pihak lain.[3]
  4. Organisasi Internasional (PBB): Menurut Huala Adolf, S.H ada 4 kelompok tindakan PBB dalam menciptakan perdamaian dan keamanan internasional. Keempat kelompok tindakan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Preventive Diplomacy Adalah suatu tindakan untuk mencegah timbulnya suatu sengketa di antara para pihak, mencegah meluasnya suatu sengketa, atau membatasi perluasan suatu sengketa. Cara ini dapat dilakukan oleh sekjen PBB, DK, Majelis Umum, atau oleh organisasi-organisasi internasional bekerja sama dengan PBB.

2) Peace Making Adalah tindakan untuk membawa para pihak yang bersengketa untuk saling sepakat, khususnya melalui cara-cara damai seperti terdapat dalam Bab VI Piagam PBB. Tujuan PBB dalam hal ini berada di antara tugas mencegah konflik dan menjaga perdamaian.

3) Peace Keeping Adalah tindakan untuk mengerahkan kehadiran PBB dalam pemeliharaan perdamaian dengan kesepakatan para pihak yang berkepentingan. Biasanya PBB mengirimkan personel militer, polisi PBB, dan personel sipil.

4) Peace Building Adalah tindakan untuk mengidentifikasi dan mendukung struktur-struktur yang ada guna memperkuat perdamaian untuk mencegah suatu konflik yang telah didamaikan berubah kembali menjadi konflik. Cara ini bisa berupa proyek kerja sama konkret yang menghubungkan dua atau lebih negara yang menguntungkan di antara mereka. Disamping keempat hal tersebut, ada istilah Peace Enforcement (penegakan perdamaian). Yang dimaksud dengan istilah ini adalah wewenang DK berdasarkan Piagam untuk menentukan adanya suatu tindakan yang merupakan ancaman terhadap perdamaian atau adanya suatu agresi. Dalam menghadapi situasi seperti ini, Dewan berwenang memutuskan penerapan sanksi ekonomi, politik, atau militer.

 

Loekito Santoso berpendapat bahwa pada taraf perdamaian, maka jalan terbaik adalah melibatkan PBB sebagai forum perdamaian internasional serta memberikan kesempatan untuk menjadi penengah.[4]

 

Dari Pirhot Nababan, Tinjauan Umum Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Diplomatik. http://pirhot-nababan.blogspot.com/2007/07/tinjauan-umum-penyelesaian-sengketa.html

 

Penyelesaian Sengketa secara Diplomatik

 

Seperti yang telah dijelaskan di atas, yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry atau penyelidikan; mediasi; konsiliasi; dan good offices atau jasa-jasa baik. Kelima metode tersebut memiliki ciri khas, kelebihan, dan kekurangan masing-masing.

  1. a) Negosiasi

Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang cukup lama dipakai. Sampai pada permulaan abad ke-20, negosiasi menjadi satu-satunya cara yang dipakai dalam penyelesaian sengketa. Sampai saat ini cara penyelesaian melalui negosiasi biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional.
Dalam praktek negosiasi, ada dua bentuk prosedur yang dibedakan. Yang pertama adalah negosiasi ketika sengketa belum muncul, lebih dikenal dengan konsultasi. Dan yang kedua adalah negosiasi ketika sengketa telah lahir.

Keuntungan yang diperoleh ketika negara yang bersengketa menggunakan mekanisme negosiasi, antara lain :
(1) Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan penyelesaian sesuai dengan kesepakatan diantara mereka

(2) Para pihak mengawasi dan memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya
(3) Dapat menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.
(4) Para pihak mencari penyelesaian yang bersifat win-win solution, sehingga dapat diterima dan memuaskan kedua belah pihak

  1. b) Enquiry atau Penyelidikan

J.G.Merrills menyatakan bahwa salah satu penyebab munculnya sengketa antar negara adalah karena adanya ketidaksepakatan para pihak mengenai fakta. Untuk menyelesaikan sengketa ini, akan bergantung pada penguraian fakta-fakta para pihak yang tidak disepakati. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, para pihak kemudian membentuk sebuah badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Fakta-fakta yang ditemukan ini kemudian dilaporakan kepada para pihak, sehingga para pihak dapat menyelesaikan sengketa diantara mereka.
Dalam beberapa kasus, badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta dalam sengketa internasional dibuat oleh PBB. Namun dalam konteks ini, enquiry yang dimaksud adalah sebuah badan yang dibentuk oleh negara yang bersengketa. Enquiry telah dikenal sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional semenjak lahirnya The Hague Convention pada tahun 1899, yang kemudian diteruskan pada tahun 1907.

  1. c) Mediasi

Ketika negara-negara yang menjadi para pihak dalam suatu sengketa internasional tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya melalui negosiasi, intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga adalah sebuah cara yang mungkin untuk keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Pihak ketiga yang melaksanakan mediasi ini tentu saja harus bersifat netral dan independen. Sehingga dapat memberikan saran yang tidak memihak salah satu negara pihak sengketa.

Intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga ini dapat dilakukan dalam beberapa bentuk. Misalnya, pihak ketiga memberikan saran kepada kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi ulang, atau bisa saja pihak ketiga hanya menyediakan jalur komunikasi tambahan.
Dalam menjalankan tugasnya, mediator tidak terikat pada suatu hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum yang ada. Mediator dapat menggunakan asas ex aequo et bono untuk menyelesaikan sengketa yang ada.
Pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa internasional diatur dalam beberapa perjanjian internasional, antara lain The Hague Convention 1907; UN Charter; The European Convention for the Peaceful Settlement of Disputes.

d) Konsiliasi

Sama seperti mediasi, penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini biasanya adalah negara, namun bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak dapat saja terlembaga atau bersifat ad hoc, yang kemudian memberikan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi ini tidak mengikat para pihak.
Pada prakteknya, proses penyelesaian sengketa melalui konsiliasi mempunyai kemiripan dengan mediasi. Pembedaan yang dapat diketahui dari kedua cara ini adalah konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal jika dibandingkan dengan mediasi. Karena dalam konsiliasi ada beberapa tahap yang biasanya harus dilalui, yaitu penyerahan sengketa kepada komisi konsiliasi, kemudian komisi akan mendengarkan keterangan lisan para pihak, dan berdasarkan fakta-fakta yang diberikan oleh para pihak secara lisan tersebut komisi konsiliasi akan menyerahkan laporan kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan penyelesaian sengketa.

  1. e) Good Offices atau Jasa-jasa Baik

Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya agar para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi. Menurut pendapat Bindschedler, yang dikutip oleh Huala Adolf, jasa baik dapat didefinisikan sebagai berikut: the involvement of one or more States or an international organization in a dispute between states with the aim of settling it or contributing to its settlement.
Pada pelaksanaan di lapangan, jasa baik dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu jasa baik teknis (technical good offices), dan jasa baik politis (political good offices). Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh negara atau organisasi internasional dengan cara mengundang para pihak yang bersengketa ikut serta dalam konferensi atau menyelenggarakan konferensi. Tujuan dari jasa baik teknis ini adalah mengembalikan atau memelihara hubungan atau kontak langsung di antara para pihak yang bersengketa setelah hubungan diplomatik mereka terputus. Sedangkan jasa baik politis adalah jasa baik yang dilakukan oleh negara atau organisasi internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan diadakannya negosiasi atau suatu kompetensi.

[1] Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional.Jakarta:Sinar Grafika, hlm:26-27

[2] Jawahir Tantowi dan Pranoto Iskandar. Hukum Internasional Kontemporer. Bandung: PT. Refika Aditama. hlm:229

[3] J.GMerrills.Penyelesaian Sengketa Internasional.Terjemahan Achmad Fauzan(Internasional Dispute Settlement).Bandung:Trasito.hlm:21

[4] Loekito Santoso.1986.Orde Perdamaian Memecahkan Masalah Perang (Penjelajah Polemologik).Jakarta:UI Pres.hlm:29

Tempat Peraturan Perundang-undangan dalam Sistem Hukum

Ulya Fajri Amriyeny

Tugas IPU

04/03/2015

 

Kita telah mengetahui bahwa peraturan perundang-undangan termasuk hukum. Tapi hukum tidaklah identik dengan peratuan perundang-undangan. Pada dasarnya, sistem hukum di dunia dapat dibedakan dalam dua kelompok besar, yaitu sistem hukum kontinental dan sistem hukum anglo sakson. Semakin ke sini, ada pemahaman baru bahwa selain kedua sistem tersebut, terdapat juga sistem hukum lain seperti sistem hukum Islam, sistem hukum sosialis, dan lain-lain.

Sistem kontinental berkembang di Eropa daratan. Dalam sejarah hukum modern, Perancis dapat disebut sebagai negara yang paling terdahulu mengembangkan sistem hukum ini. Sistem hukum kontinental mengutamakan hukum tertulis yaitu peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukumnya. Karena itu, negara-negara yang berada dalam sistem hukum kontinental selalu berusaha untuk menyusun hukum-hukumnya dalam bentuk tertulis. Bahkan dalam satu sistematika yang diupayakan selengkap mungkin dalam sebuah kitab undang-undang, atau yang kita kenal juga dengan sebutan kodifikasi. Pemikiran kodifikasi ini terpengaruh oleh konsepsi negara hukum abad 18-19, bahwa untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan tindak sewenang-wenang dan demi kepastian hukum, kaidah-kaidah hukum harus tertulis dalam bentuk undang-undang.

Undang-undang, paling tidak, harus dipenuhi beberapa syarat ini, yakni: haruslah bersifat umum (algemeen), baik dari segi waktu, tempat atau obyeknya. Juga haruslah lengkap, dan tersusun dalam suatu kodifikasi. Berdasarkan pandangan ini, pemerintah dan hakim tidak lebih dari sebuah mesin yang bertugas menerapkan undang-undang secara mekanis. Dalam perkembangan, sifat berlaku umum tidak hanya terbatas pada undang-undang. Berbagai keputusan administrasi negara yang bersifat mengatur seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri juga berlaku secara umum.

Sistem kontinental ini menyebar ke luar dari Eropa terutama melalui penjajahan, seoerti Perancis di Afrika dan Indo China, Belanda di Indonesia, Spanyol di negara-negara Amerika Latin. Di Amerika Serikat sendiri, meskipun secara keseluruhan  merupakan sistem Anglo Saxon, dapat pula dijumpai sistem kontinental, seperti di Louissiana sebagai peninggalan Perancis.

Adapun sistem Anglo Saxon menyebar dari Inggris, ke negara-negara di bawah pengaruh Inggris, seperti Amerika Serikat, Canada, Australia dan lain sebagainya. Sistem hukum anglo saxon tidak menjadikan peratran perundang-undangan sebagai sendi utama sistemnya, melainkan pada yurisprudensi. Sistem ini berkembang dari kasus-kasus konkrit hingga lahirlah berbagai kaidah dan asas hukum. Atau bisa juga disebut case law system.

Makin besarnya pera nan peraturan perundang-undangan terjadi karena beberapa hal:

  1. Peraturan perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah dikenali (diidentifikasi), mudah ditemukan kembali dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah hukum tertulis, bentuk, jenis, dan tempatnya jelas. Begitu pula pembuatnya.
  2. Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih nyata karena kaidah-kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah ditemukan kembali.
  3. Struktur dan sistematika peraturan perundang-undangan lebih jelas dan diuji baik segi-segi formal maupun materi muatannya.
  4. Pembentukan dan pengembangan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan. Faktor ini sangat penting bagi negara-negara yang sedang membangun termasuk membangun sistem hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkebangan masyarakat.

 

Tetapi, tidak pula berarti pemanfaatan peraturan perundang-undangan tidak mengandung masalah-masalah, antar alain:

  1. Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikan peraturan perundang-undagan dengan perkembangan masyarakat. Pembentukannya membutuhkan waktu dan cara-cara tertentu. Sementara itu, masyarakat selalu berubah.
  2. Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi segala peristiwa hukum atau tuntutan hukum, dan ini menimbulkan apa yang lazim disebut sebagai kekosongan hukum. Cra untuk mengatasi kekosongan peraturan perundang-undangan adalah dengan memperbesar peranan hakim. Hakim bukan hanya sekadar mulut undang-undang, tetap sebagai yang mempertimbangkan baik-buruk, manfaat-mudharat suatu peraturan perundang-undangan agar hukum tetap terlaksana dengan adil dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Karena tergantung pada kasus , maka sistematika hukum anglo saxon menjadi tidak begitu jelas. Begitu pula perkembangannya tidak dapat direncanakan. Menghadapi perkembangan masyarakat yang cepat, makin terasa esulitan memicu perkembangan hukum melalui kasus-kasus. Karena itu merupakan satu kenyataan bahwa pada negara dengan sistem hukum nglo saxon berkembang pesat kaida-kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Di Indonesia sendiri, pada saat ini, ada tiga sistem hukum yang berlaku, yakni hukum adat, sistem hukum agama, dan sistem hukum barat. Hukum adat adalah hukum tidak tertulis yang terwujud melalui putusa penguasa adat, yang dengan akta lain sistem ini dekat dengan sistem naglo saxon. Sistem hukum agama yang menonjol adalah hukum Islam. Bagian-bagian tertentu dari hukum islam bukan sekadar hukum yang hidup dalam masyarakat melainkan sebagi hukum positif yang ditetapkan sebagai hukum yang berlaku bagi umat islam. Sedangkan sistem hukum barat dibawa oleh penjajah Belanda, yakni sistem kontinental. Peninggalan ini tampak pada KUHDagang, KUHPer, KUHP, dan berbagai peraturan perundangan lainnya. Dalam pembangunan hukum nasional, Indonesia nampaknya akan lebih menekankan pada hukum tertulis sebagai sendi utama. Hal ini terlihat pada politik kodifikasi.

Politik hukum Indonesia di masa depan, tidaklah perlu memilih antara kodifikasi dan nokodifikasi. Yang paling penting adlah penentuan tujuan, arah sasaran, dan fungsi politik hukum, seperti:

Pertama, apakah wawasan negara di bidang hukum harus senantiasa diarahkan pada unifikasi hukum di seluruh bidang kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia. Apakah sesuai dengan prinsip bhineka tunggal ika, unifikasi akan berlaku secara selektif. Artinya, unifikasi sebagai prinsip tetapi menutup kemungkinan diversifikasi sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan masyarakat.

Kedua, apakah setiap gejala atau kepentingan harus diatur dalam undang-undnag. Ataukah ada bagian-bagian yang akan dibiarkan diatur sendiri oleh masyarakat atau ditumbuhkan melalui pernan penegak ukum atau ilmu pengetahuan hukum.

Ketiga, sejauh mana faktor atau gejala yang mendunia seperti globalisasi, privatisasi dan lain-lain dapat dipertemukan dengan paham ke-Indonesiaan seperti nilai-nilai pancasila, prinsip kekeluargaan, keadilan sosial, dsb.

Keempat, bagaimanakah perkiraan corak hukum atau  peraturan perundang-undangan Indonesia yang berdasarkan pancasila pada masyarakat industri Indonesia di masa depan.

Kelima, bagaimana sistem pengorganisasian pembinaan hukum nasional yang dapat menjamin kesatuan kebijaksanaan, kesatuan perencanaan, keatuan program, dan sebagainya.

Keenam, bagaimanakah prinsip dan dasar penyusunan perencanaan dan program pembinaan hukum nasional yang terpadu dengan sektor dan prioritas pembangunan lainnya.

Pertanyaan-pertanyaan di atas masih dapat ditambah dengan titik olak dan pengamatan masing-masing. Tetapi, yang terpenting adalah kesadaran untuk mengkaji politik hukum yang diperkirakan dapat mencerminkan upaya mewujudkan secara konkrit bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum.

 

Hukum, Peraturan Perundang-undangan dan Undang-undang

Ulya Fajri Amriyeny

Ilmu Perundang-undangan:

Tugas 1

 

 

Sebagaimana yang kita ketahui selama ini, begitu banyak anggapan keliru mengenai istilah-istilah peraturan perundang-udangan, undang-undang, dan hukum. Ada semacam salah pengertian bagi kalangan awam yang menganggap bahwa hal tersebut sama saja dengan undang-undang atau hukum, meski dalam batas-batas tertentu tidaklah keliru.

Yang benar adalah, undang-undang merupakan sebagian dari peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan sendiri terdiri dari undang-undang dan berbagai peraturan perundang-undangan lain seperti ketetapan MPR, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, dan lain sebagainya. Hukum tidak sama dengan undang-undang. Sebab di luar undang-undang masih terdapat kaidah hukum lain seperti hukum adat, hukum kebiasaan, dan hukum yurisprudensi.

Meski dalam ajaran hukum pun ada yang dinamakan ajaran “legisme” atau positivisme seperti yang diajarkan John Austin dan Kelsen bahwa hukum itu semata-semata kehendak dari penguasa dalam bentuk perundang-undangan, sehingga tidak ada hukum di luar undang-undang atau peraturan perundang-undangan. Di peradilan pun sama,  ada masanya suatu perbuatan hukum hanya diartikan oleh pengadilan (Hoge Road) sebagai perbuatan melawan undang-undang. Baru kemudian, pengadilan yang sama mengartikan bahwa perbuatan melawan hukum tidak sekadar perbuatan yan bertentangan dengan undang-undang, tapi juga perbuatan yang bertentangan dengan keputusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap pribadi atau benda orang lain.

Ilmu hukum membedakan antara undang-undang dalam arti material dan undang-undang dalam arti formal. Dalam arti materil, undang-undang adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat berwenang yang berisikan aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum. Inilah yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan. Dari uraian ini tidaklah begitu salah kalau orang awam mengatakan bahwa setiap aturan tertulis yang dibuat atau dikeluarkan pejabat yang berwenang adalah undang-undang. Hanya undang-undang di sini dalam arti materil bukan dalam arti formal.

Dalam arti formal, undang-undang adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerja sama antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum. Maka undang-undang adalah salah satu jenis peraturan perundang-undangan lain terletak pada cara pembentukannya yan kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Di Indonesia, undang-undang adalah hasil kerjasama atara Presiden dan DPR.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengkajian mengenai peraturan perundang-undangan mencakup egala bentuk peraturan perundang-undangan baik yang dibuat pada tingkat pusat pemerintahan negara maupun di tingkat daerah. Dan karena peraturan perundang-undangan adalah salah satu aspek dari hukum, maka pengkajian peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari pengkajian hukum.

Proses Beracara di Pengadilan TUN

Proses beracara di pengadilan dimulai dengan surat gugat dan diakhiri dengan pelaksanaan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemeriksaannya untuk itu dapat dilakukan melalui acara biasa dan bukan acara biasa. Dengan demikian berkaitan dengan Hukum Acara Formil pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu acara cepat, acara singkat, dan acara biasa. Acara pemeriksaan di PTUN dapat dilakukan dengan pemeriksaan dengan acara biasa, pemeriksaan dengan acara singkat, dan pemeriksaan dengan acara cepat.

 

  1. Pemeriksaan Dengan Acara Biasa

 

Pengajuan Gugatan

Pengajuan gugatan dalam Hukum Acara TUN agak berbeda dengan Hukum Aacara Perdata pada peradilan umum, karena adanya pembatasan waktu pengajuan gugatan yang diatur dalam pasal 55, dimana disebutkan bahwa gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan/Pejabat TUN.

 

Prosedur Pengajuan Gugatan

Pada prinsipnya setiap orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang, yang berisi tuntutan agar KTUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi (pasal 53 ayat 1).

Pengajuan gugatan TUN dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

  • Gugatan diajukan langsung oleh penggugat

Gugatan yang diajukan langsung oleh pengguat diterima oleh panitera, tetapi tidak langsung dimasukkan ke dalam daftar perkara sebelum penggugat membayar uang muka biaya perkara yang besarnya ditafsir oleh panitera. Setelah uang muka biaya perkara dibayar, gugatan dimasukkan dalam daftar perkara untuk mendapatkan nomor perkara dan gugatan baru diproses untuk dilanjutkan.

  • Gugatan diajukan melalui pos oleh penggugat

Gugatan yang diajukan melalui pos, panitera harus memberitahu tentang pembayaran Uang Muka Biaya Perkara kepada penggugat dengan diberi waktu paling lama enam bulan bagi penggugat itu untuk memenuhinya dan kemudian diterima di Kepaniteraan terhitung sejak tanggal dikirimnya surat pemberitahuan tersebut setelah lewat tenggang waktu tersebut dan Uang Muka Biaya Perkara belum diterima di Kepaniteraan, maka gugatan tudak akam didaftar. Gugatan yang dikirim melalui pos yang belum dipenuhi pembayaran uang muka biaya perkara tersebut tetap disimpan oleh Panitera Muda Bidang Perkara dan harus dicatat dalam Buku Panduan Register dengan mendasarkan pada tanggal diterimanya gugatan tersebut, mengngat ketentuan tenggang waktu dalam pasal 55. Dengan demikian, gugatan yang diajukan melalui pos oleh penggugat seperti halnya gugatan yang diajukan langsung oleh penggugat, baru diproses jika uang muka biaya perkara yang besarnta ditafsir oleh panitera telah dibayar.

 

Pengajuan gugatan secara tertulis tersebut, harus didasarkan pada alasan-alasan yang jelas sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004, asalasan-alasan tersebut adalah:

  1. KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  2. KTUN yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

 

Syarat-Syarat Gugatan

Pasal  56 menentukan bahwa:

  • Gugatan harus memuat
  • Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat, atau kuasanya;
  • Nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat;
  • Dasar gugatandan hal yang diminta untuk diputusakan oleh pengadilan
  • Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah
  • Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan oleh penggugat.

 

 

 

Penelitian Administratif

Menurut Surat Edaran MA Nomor 2 Tahun 1991 dan Surat Ketua Muda MA Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usa Negara tanggal 24 Maret 1992 Nomoe 051/Td. TUN/III/1992, yang mempunyai wewenang untuk melakukan penelitian admistratif adalah panitera, wakil panitera, dan panitera muda perkara sesuai dengan pembagian tugas yang diberikan.

Obyek penelitian admistratif ini adalah segi formalnya gugatan, apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 56, tidak menyangkut tentang segi materiil dari gugatan. Dalam penelitian administratif, panitera harus memberikan petunjuk-petunjuk yang diperlukan dan dapat meminta kepada penggugat untuk memperbaiki atau melengkapi gugatannya.

 

Rapat Permusyawaratan

Dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 02/PLW/1993-PEND/PTUN-JKT, yang dimaksud dengan Rapat Permusyawaratan diartikan sebagai raad kamer dalam pemeriksaan kamar tertutup, dilakukan oleh Ketua Pengadilan tanpa adanya proses antar pihak-pihak dan tanpa dilakukan pemeriksaan di muka umum, hal mana sesuai dengan maksud dan hakekat acara singkat dalam proses dissmisal procedure, dengan demikian proses tersebut pada dasarnya merupakan suatu penanganan yang bersifat inquisitoir belaka yang merupakan pertahapan atau fase pendahuluan terhadap gugatan yang diajukan (Yurisprudensi MA, 1993: 385).

Pemeriksaan surat gugatan dalam rapat permusyawaratan merupakan suatu prosedur penyelesaian yang disederhanakan, dimana Ketua Pengadilan diberikan wewenang untuk memutuskan dengan mengeluarkan suatu penetapan, yaitu penetapan dismissal yang menyatakan bahwa gugatan yang diajukan ke pengadilan tidak diterima atau tidak berdasar.

Mengenai siapa yang ikut memutuskan dalam rapat permusyawaratan, terjadi perbedaan pendapat diantara para pakar Tata Negara. SF Marbun (1988:102) berpendapat bahwa acara rapat permusyawaratan dilakukan sendiri oleh Ketua Pengadilan. Indroharto (1993:118) menyatakan bahwa rapat permusyawaratan dihadiri oleh mereka yang ikut dalam memutuskan perkara yang bersangkutan, yaitu Ketua Sidang dan para Anggota Majelis dan Panitera atau Panitera Pengganti yang akan ikut dalam persidangan. Sedangkan menurut Philipus M. Hadjon (1995: 343), bahwa rapat permusyawaratan terdiri dari para hakim dan panitera yang diketuai oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara.

 

Pemeriksaan Persiapan

Wewenang Hakim dalam Pemeriksaan Persiapan ini difungsikan untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan seseorang sebagai penggugat dalam mendapatkan informasi atau data yang diperlukan dari Badan atau Pejabat TUN mengingat antara penggugat dan Badan atau Pejabat TUN mempunyai kedudukan yang tidak sama. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka hakim dapat meminta kepada Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan untuk mengirimkan KTUN yang sedang disengketakan itu kepada pengadilan, dan hakim dapat meminta tergugat untuk memberikan keterangan/penjelasan berkenaan dengan KTUN yang digugat. Namun pemanggilan tidak hanya dilakukan kepada tergugat, hakim juga dapat memanggil penggugat untuk memperbaiki atau melengkapi gugatannya. Pemeriksaan persiapan juga difungsikan untuk menerima bukti-bukti dan surat-surat yang berkaitan dengan gugatan.

 

  1. Pemeriksaan Dengan Acara Singkat

Pemeriksan dengan acara singkat di PTUN dapat dilakukan apabila terjadi perlawanan (verzet) atas penetapan yang diputuskan oleh ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan. Dalam rapat permusyawaratan, ketua pengadilan berwenang memutuskan dalam suatu penetapan yang dilengkapi berapa pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan diterima atau tidak berdasarkan, beberapa hal yaitu :

  • Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan
  • Syarat-syarat gugatan tidak terpenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan
  • Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan yang layak;
  • Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya telah terpenuhi oleh KTUN yang digugat;
  • Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah melewati batas waktu
    Pemeriksaan Administratif (Prosedur Dismissal).

 

Hal tersebut di atas disebutkan dalam pasal 62 UU PTUN, Dalam periksaan singkat, jangka waktu perlawanan yaitu empat belas hari dalam melakukan perlawanan terhitung sejak penetapan dismissal itu di ucapkan.

 

Ketua pengadilan sebelum memutuskan dalam suatu penetapan bahwa gugatan penggugat dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar,harus melakukan penelitian administratif dahulu (prosedur dismissal). Prosedur dismissal tersebut berdasarkan angka II SEMA Nomor 2 Tahun 1991 adalah sebagai berikut:[1]

  1. Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan mendengar keterangan para pihak sebelum menentukan Penetapan Dismissal apabila dipandang perlu.
  2. Tenggang waktu yang ditentukan menurut Pasal 55 sejak tanggal diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara oleh Penggugat, atau sejak diumumkannya keputusan tersebut, dengan ketentuan bahwa tenggang waktu itu ditunda (schors) selama proses peradilan masih berjalan menurut Pasal 62 jo. Pasal 63.
  3. Dalam pada itu diminta agar ketua Pengadilan tidak terlalu mudah menggunakan Pasal 62 tersebut kecuali mengenai Pasal 62 ayat (1) butir a dan e.
  4. Pemeriksaan Dismissal dilakukan oleh Ketua, dan Ketua dapat juga menunjuk seorang Hakim sebagai Raporteur (Raportir).
  5. Penetapan Dismissal ditandatangani oleh Ketua dan Panitera Kepala/Wakil Panitera (Wakil Ketua dapat pula menandatangani Penetapan Dismissal dalam hal Ketua berhalangan).

Pemeriksaan Dismissal dilakukan secara singkat dalam rapat permusyaratan.

Pemeriksaan gugatan perlawanan terhadap penetapan Dismissal juga dilakukan dengan acara singkat (Pasal 62 ayat 4).

  1. Dalam hal adanya petitum gugatan yang nyata-nyata tidak dapat dikabulkan, maka

dimungkinkan ditetapkan dismissal terhadap bagian petitum gugatan tersebut.

Ketentuan tentang perlawanan terhadap Ketetapan Dismissal juga berlaku dalam

hal ini.

 

Putusan mengenai gugatan perlawanan yang dilakukan melalui pemeriksaan dengan acara singkat dapat diterima dan dapat ditolak. Apabila gugatan diterima, maka penetapan ketua pengadilan yang dilawan itu menjadi gugur demi hukum (ex lege), selanjutnya perkara tersebut oleh majelis akan dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan persiapan dengan acara biasa. Sebaliknya, apabila gugatan perlawanan itu ditolak, maka penetapan ketua pengadilan tersebut tetap sah untuk dipakai.

 

Pemeriksaan dengan acara singkat memiliki beberapa kelebihan sekaligus bebrapa kelemahan.[2] Kelebihan-kelebihannya adalah sebagai berikut:

  • Dapat mengatasi berbagai rintangan yang mungkin akan menjadi penghalang dalam penyelesaian secara cepat sengketa-sengketa TUN
  • Dapat mengatasi arus masuknya perkara-perkara yang sebenarnya tidak memenuhi syarat
  • Dapat dihindarkan pemeriksaan perkara-perkara yang menurut acara biasa tidak perlu dan yang akan memakan banyak waktu serta biaya.

 

Sementara itu, kelemahan-kelemahannya adalah:

  • Jangka waktu empat belas hari mengajukan perlawanan, terhitung sejak penetapan dismissal itu diucapkan, dapat menjadi tidak realistis karena dapat saja pada waktu penetapan itu yang diucapkan berhalangan hadir
  • Putusan gugatan perlawanan atas penetapan ketua pengadilan itu tidak dapat digunakan upaya hukum (banding ataupun kasasi) kecuali mengajukan gugatan baru, sepanjang tenggang waktu yang ditentukan belum habis

 

  1. Pemeriksaan Dengan Acara Cepat

Pada dasarnya pemeriksaan cepat dilakukan karena adanya kepentingan penggugat yang sangat mendesak menyangkut PTUN dan dengan kepentingan yang mendesak itu penggugat dapat memohonkan agar sengketa diselesaikan dengan cepat. Proses pemeriksaan dalam Acara Pemeriksaan cepat terdiri dari: Pengajuan Gugatan, Penelitian Administratif, Rapat Permusyawaratan, Pemeriksaan Pokok Sengketa dan Penjatuhan Putusan. Pemeriksaan dengan acara cepat pun hanya dilakukan dengan hakim tunggal. Perlu diperhatikan pula bahwa dalam pemeriksaan perkara dengan acara cepat tidak ada pemeriksaan persiapan dan setelah ditunjuk Hakim tunggal, langsung para pihak dipanggil untuk persidangan selain itu yang perlu diperhatikan juga yaitu pihak ketiga tidak dapat masuk dalam proses persidangan dan resiko tentang fakta tidak sekuat dan meyakinkan seperti dalam acara biasa. Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak masing-masing tidak melebihi empat belas hari.

Ketua pengadilan dalam jangka waktu empat belas hari setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 pasal 98, mengeluarkan ketetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.

Pada ayat 3 pasal 98 UU no. 5/ 1986, menentukan bahwa terhadap penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 pasal ini, tidak dapat digunakan upaya hukum.

Acara cepat (versnelde procedures) diatur dalam Pasal 98 dan 99 UU RI No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Ciri khas daripada acara cepat adalah:

  1. Tidak ada pemeriksaan persiapan;
  2. Hakim tunggal;
  3. Waktu dipercepat;
  4. Acara cepat diadakan karena penggugat mempunyai kepentingan yang cukup mendesak.

Beracara cepat dalam Haptun pada dasarnya karena pengecualian terhadap ketentuan yang berlaku untuk acara biasa. Pengecualian ini terjadi karena beberapa alasan, antara lain:

  1. Pemeriksaan unus judex bukan hakim majelis;
  2. Prosesnya dengan meniadakan prosedur pemeriksaan persiapan
  3. Waktu untuk jarak antara pemanggilan serta hari sidang boleh kurang dari enam hari, pemeriksaan dipersempit, yaitu sejak gugatan didaftar sampai dengan pembuktian selesai berlangsung selama 35 hari.

Acara cepat digunakan untuk menyelesaikan pokok sengketa. Adapun bentuk akhir dari acara cepat adalah putusan (vonis).

 

Pengaturan mengenai pemeriksaan dengan acara cepat disebutkan dalam Undang-undang PTUN Pasal 98 dan 99. Dari ketentuan pasal 98 dapat diketahui bahwa agar dapat dilakukan pemeriksaan dengan acara cepat, dapat diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Dalam surat gugat harus sudah dimuat atau disebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar dari Penggugat untuk mengajukan permohonan agar pemeriksaan sengketa TUN dipercepat.
  2. Dari alasan-alasan yang dikemukakan oleh penggugat tersebut, dapat ditarik kesimpulan adanya kepentingan dari penggugat yang cukup mendesak bahwa pemeriksaan terhadap sengketa TUN tersebut memang perlu dipercepat.
  3. Terhadap kesimpulan tersebut dibuatkan keputusan oleh Ketua Pengadilan dalam bentuk penetapan.
  4. Terhadap keputusan tersebut tidak dapat dilakukan upaya hukum.

Kepentingan yang bersifat mendesak ini bersifat kasuistis, sehingga kepada Ketua Pengadilan diberikan kebebasan untuk membuat penilaian terhadap alasan-alasan yang diajukan oleh penggugat dalam permohonannya agar sengketa TUN dapat dipercepat pemeriksaannya.

Dalam Pemeriksaan Pokok Sengketa perlu diperhatikan hal-hal sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 99 UU Nomor 5 Tahun 1986, yang menyatakan bahwa:

  • Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan Hakim Tunggal.
  • Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan dalam jangka waktu tujuh hari setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63.
  • Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi empat belas hari.

 

 

PERBEDAAN ACARA BIASA, ACARA CEPAT,  DAN ACARA SINGKAT

No Pemeriksaan Acara Biasa Pemeriksaan Acara Singkat Pemeriksaan Acara Cepat
1. Dalam hal ini diperikasa oleh majelis hakim yang terdiri dari 3 orang hakim Dalam hal ini diperiksa oleh majelis hakim yang juga terdiri dari 3 orang hakim Dalam hal ini diperiksa oleh hakim tunggal
2. Pemeriksaan acara biasa dalam hal ini mengajukan gugatan yang karena KTUN yang digugat bertentangan dengan uu dan /atau asas umum pemerintahan yang baik Dalam hal ini mengajukan gugatan perlawanan karena tidak setuju dengan penetapan dismissal Pemeriksaan acara cepat dalam hal ini mengajukan permohonan  dalam gugatannya karena ada kepentingan yang mendesak
3. Dalam pemeriksaan acara biasa ini menyelesaikan pokok perkara Dalam pemeriksaan acara singkat ini tidak menyelasaikan pokok perkara Dalam pemeriksaan acara cepat ini  menyelesaikan pokok perkara tetapi acaranya dipercepat
4. Dalam pemeriksaan acara biasa ini ,penggugat/tergugat jika tidak menerima putusan dapat mengajukan banding dengan jangka waktu 14 hari Tidak ada upaya hukum lagi terhadap penetapan hakim terhadap perlawanan oleh penggugat terhadap putusan dismissal Setelah menerima putusan bahwa permohonan tidak dikabulkan, maka dilanjutkan dengan acara biasa dan tidak dapat dapat melakukan upaya hukum lagi terhadap putusan permohonan acara cepat
5. Dalam acara pemeriksaan biasa ada proses pemeriksaan persiapan Dalam pemeriksaan acara singkat tidak ada proses pemeriksaan persiapan Dalam pemeriksaan acara cepat  tidak ada proses pemeriksaan persiapan
6. Pemeriksaan gugatan acara biasa, dilakukan dengan sidang terbuka untuk umum, dan putusannya bersifat terbuka Pemeriksaan gugatan perlawanan (acara singkat), dilakukan dengan siding tertutup, dan putusannya bersifat terbuka. Pemeriksaan gugatan acara cepat, dilakukan dengan sidang terbuka untuk umum, dan putusannya bersifat terbuka
7. Dalam pemeriksaan acara biasa ada rapat permusyawaratan Dalam acara pemeriksaan singkat tidak ada rapat permusyawaratan Dalam acara pemeriksaan cepat ada rapat permusyawaratan
8. Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari enam hari ,kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara cepat   permohonan acara cepat dikabulkan maka Ketua pengadilan dalam jangka waktu 7 hari setelah dikeluarkannya penetapan oleh ketua pengadilan tersebut menentukan hari,tempat dan waktu sidang. .
9. Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari sesudah gugatan dicatat,hakim menetukan hari,jam ,dan tempat peridangan   permohonan acara cepat dikabulkan maka Ketua pengadilan dalam jangka waktu 7 hari setelah dikeluarkannya penetapan oleh ketua pengadilan tersebut menentukan hari,tempat dan waktu sidang
10 Hasil dari persidangan pemeriksaan acara biasa berupa putusan Hasil dari persidangan pemeriksaan acara singkat berupa penetapan Hasil dari persidangan pemeriksaan acara cepat berupa putusan
11. Bagi pihak yang dituju dengan sebuah KTUN adala 90 hari sejak KTUN itu diterima. Pengajuan perlawanan dari Penggugat dilakukan dalam tenggang waktu 14 hari setelah diucapkan Bagi pihak yang dituju dengan sebuah KTUN adala 90 hari sejak KTUN itu diterima.
12. Tidak ada batasannya Tidak ada batasannya tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belahg pihak ,masing-masing tidak boleh melebihi 14 hari.
13.   Permohonan beracara cepat ,oleh ketua pengadilan dalam jangka waktu  14 hari sejak permohonan itu diterima ,ketua pengadilan harus sudah mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut
14. Apabila gugatan ditolak oleh pengadilan dalam rapat permusyawaratan maka gugatan gugur dan dapat mengajukan gugatan baru dengan membayar biaya perkara lagi. Apabila pengajuan perlawanan terhadap proses dismissal ditolak maka sidang dilanjutkan dengan acara pemeriksaan biasa Apabila permohonan beracara cepat tidak dikabulkan maka gugatan dipriksa dengan acara biasa

 

[1] SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG Nomor 2 Tahun 1991 Tntang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

[2] Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Cetakan Keenam, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hlm. 148-156.

Tanya Jawab Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional

  1. Metode penyelesaian sengketa yang diatur dalam piagam PBB.

Menurut pasal 33 ayat 1 Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:

  1. Negosiasi (perundingan)

Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.

  1. Enquiry (penyelidikan)

Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.

  1. Good offices (jasa-jasa baik)

Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.

  1. Mediation (mediasi)

Pihak ketiga campur tangn untuk mengadakan rekonsiliasi tuntutan-tuntutan dari para pihak yang bersengketa. Dalam mediasi pihak ketiga lebih aktif.

  1. Consiliation (Konsiliasi)

Merupakan kombinasi antara penyelesaian sengketa dengan cara enquiry dan mediasi.

  1. Arbitration (arbitrasi)

Pihaknya adalah negara, individu, dan badan-badan hukum. Arbitrasi lebih flexible dibanding dengan penyelesain sengketa melalui pengadilan.

  1. Penyelesain sengketa menurut hukum

Dalam penyelesaian ini para pihak yang bersengketa akan mengajukan masalahnya ke Mahkamah Internasional. Mahkamah internasional ini bertugas untuk menyelesaikan tuntutan yang diajukan dan mengeluarkan keputusan yang bersifat final dan mengikat para pihak. Mahkamah Internasional merupakan bagian integral dari PBB, jadi tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.

  1. Badan-badan regional

Melibatkan lembaga atau organisasi regional baik sebelum maupun sesudah PBB berdiri.

  1. Cara-cara damai lainnya

 

  1. Salah satu kesulitan penyelesaian sengketa internasional melalui mahkamah internasional adalah penentuan yurisdiksi Mahkamah Internasional, jelaskan dengan menggunakan dasar hukum.

Mahkamah ICJ dengan tegas menyatakan bahwa sengketa yang diserahkan pdanya adalah sengketa hukum. Mahhkamah ICJ pun harus meyakinkan dirinya bahwa ia memang memiliki yurisdiksi untuk memeriksa dan memutus sengketa tersebut.

Mungkin ada sedikit kesulitan saat membagi manakah yang termasuk sengketa hukum, manakah yang termasuk sengketa politik. Sebab tidak ada kriteria yang jelas dan dapat diterima secara umum mengenai pengertian kedua istilah tersebut. Dan dalam beberapa kasus, sengketa hukum tidak bisa dilepaskand ari unsur-unsur politis yang ada.

Lalu berikutnya, pasal 34 dengan tegas menyatakan bahwa negara sajalah yang bisa menyerahkan sengketanya ke Mahkamah. Dengan kata lain, subjek-subjek hukum internasional lainnya seperti organisasi internasional, perusahaan multinasional, orang perorangan, pihak yang bersengketa, dan lain-lain, tidak bisa meminta Mahkaamah untuk menyelesaikan sengketanya.

Yurisdiksi Mahkamah Internasional ini, sesuai Continteous Jurisdiction,  dapat pula dilihat dalam pasal 36 ayat (2), yang meskipun tidak secara khusus memberikan hak-hak yang khusus, negara-negara acapkali membuat pernyataan-pernyataan yang tunduk pada persyaratan-persyaratan. Masalah persyaratan terhadap yurisdiksi Mahkamah ini muncul dalams engketa the Certain Nrwegian Loans(1957). Dalam kasus ini, Mahkamah mengizinkan Norwegia memohon dilakukannya penilaian persyaratan yang dibuat pemerintah Perancis.

Meskipun Mahkamah tidak secara langsung menyatakan keabsahan persyaratan-persyaratan tersebut, praktik-praktik demikian telah mendapat komentar dan pro kontra dari banyak ahli.

Praktik membuat persyaratan-persyaratan ini telah menimbulkan problem bagi Mahkamah dalam upayanya membuat batas-batas ruang lingkup masalah yang sebelumnya telah disepakati oleh negara-negara. Negara-negara sebelum menyerahkan sengketanya pada mahkamah harus terlebih dahulu membuat pernyataan atau deklarasi mengenai masalah-masalah yang akan diselesaikan oleh Mahkamah.

Karena persyaratan-persyaratan demikian dibuat atas dasar resiprositas, maka Mahkamah memiliki yurisdiksi hanya pada lingkup atas masalah-masalah yang berada atau yang dinyatakan dalam pernyataan itu.

Selain itu, jika dilihat dari noncontentious Jurisdiction, dasar hukum yurisdiksi mahkamah hanyalah untuk memberikan nasihat atau pertimbangan hukum pada organ utama atau organ PBB lain. Nasihat ini pun terbatas sifatnya, yakni hanya yang terkait dengan ruang lingkp kegiatan atau aktivitas dari 5 badan atau organ utama dan 16 badan khusus PBB. Dalam kasus ini, ada 2 masalah yang timbul. Yakni: 1) kelayakan suatu masalah untuk mendapat nasihat hukum. Seperti yang juga telah disebutkan di atas bahwa ada keslitan membedakan sengketa hukum dansengketa politik, sebab seringkali unsur-unsur politis dari adanya permohonan untuk nasihat-nasihat ertentu tidak bisa diabaikan begitu saja oleh mahkamah. Dan 2)  kepatutan dari pemberian suatu nasihat tersebut. Mahkamah telah menyatakan kepeduliannya atas pemanfaatan permohonan nasihat ini. Kadang ada negara yang memanfaatkan upaya ini, yang tujuan utamanya semata-mata adalah sebagai cara atau taktik yang sebenarnya ditempuh untuk menghindari kesepakatan penyerahan sengketa pada mahkamah.

 

  1. Mahkamah Internasional dan Dewan Keamanan adalah dua organ utama PBB yang memiliki kedudukan yang sama berdasarkan piagam PBB. Dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa melalui mekanisme Mahkamah Internaisonal, apakah mahkamah internasional dapat memberikan pandangan terhadap keputusan yang diambil sebelumnya oleh dewan keamanan dengan memperhatikan kasus Lockerbie (Libya v. The united states and united kingdom)

Pada hakikatnya, tidak seperti mahkamah internasional yang berwenang mengurus sengketa hukum, dewan keamanan hanya berperan dalam masalah politik. Tugas utamanya adalah memelihara perdamaian daripada mengadili suatu sengketa. Dalam pasal 36 ayat (3)piagam pun, Dewan Keamanan harus menganjurkan agar sengketa hukum diserahkan pada Mahkamah Internasional, namun Dewan tidak memiliki kekuasaan untuk memaksa negara yang bersengketa untuk menyerahkan sengketanya pada Mahkamah.

Maka seharusnya, dengan melihat bahwa Mahkamah Internasional dan Dewan Keamanan adalah dua organ utama PBB yang memiliki kedudukan yang sama berdasarkan piagam PBB, maka seharusnya Mahkamah Internasional tidak dapat memberikan pandangan terhadap keputusan yang telah diambil sebelumnya oleh Dewan Keamanan.

 

 

Ulya Fajri Amriyeny

Konstitusi

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Dalam perkembangan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi menempati posisi yang sangat penting. Pengertian dan materi muatan konstitusi senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan organisasi kenegaraan. Kajian tentang konstitusi semakin penting dalam negara-negara modern saat ini yang pada umumnya menyatakan diri sebagai negara konstitusional, baik demokrasi konstitusional maupun monarki konstitusional. Suatu konstitusi tertulis, sebagaimana halnya Undang-Undang Dasar 1945, nilai-nilai dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat serta praktek penyelenggaraan negara turut mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Karena itu, suasana kebatinan (geistichenhentergrund) yang menjadi latar belakang filosofis, sosiologis, politis, dan historis. Perumusan juridis suatu ketentuan Undang-Undang Dasar perlu dipahami dengan seksama, untuk dapat mengerti dengan sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar.

Undang-Undang Dasar tidak dapat dipahami hanya melalui teksnya saja. Untuk sungguh-sungguh mengerti, kita harus memahami konteks filosofis, sosio-historis, sosio-politis, sosio-juridis, dan bahkan sosio-ekonomis yang mempengaruhi perumusannya. Karena itu, penafsiran terhadap Undang-Undang Dasar pada masa lalu, masa kini, dan pada masa yang akan datang, memerlukan rujukan standar yang dapat dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya, sehingga Undang-Undang Dasar tidak menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga. Untuk itulah, menyertai penyusunan dan perumusan naskah Undang-Undang Dasar, diperlukan pula adanya Pokok-Pokok pemikiran konseptual yang mendasari setiap perumusan pasal-pasal Undang-Undang Dasar serta keterkaitannya secara langsung atau tidak langsung terhadap semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Pembukaan Undang-Undang Dasar.

Undang-Undang Dasar 1945 disamping mengatur tata kenegaraan juga  mengatur tata kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan seperti termuat dalam Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34.[1] Bila dilihat kembali materi yang diatur dalam Penjelasan Pasal 33 disebutkan bahwa:

“Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang”. Selanjutnya dikatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. [2]

Untuk menjaga Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 khususnya, dan konstitusi pada umumnya, amandemen Undang-Undang 1945 yang ketiga telah mengakomodasi terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, di mana salah satu fungsinya adalah untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, kemudian fungsi ini lebih dikenal dengan istilah judicial review.

Di dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Mahkamah Konstitusi mencantumkan klausula conditionally constitutional yang memberikan landasan bahwa Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dapat diuji kembali ke Mahkamah Konstitusi dengan syarat-syarat konstitutional tertentu, yaitu dilihat dulu ketentuan pelaksana dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Apabila ketentuan pelaksana dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dalam pelaksanaannya (misalnya Peraturan Pemerintah) ditafsirkan berbeda dengan tafsir Mahkamah Konstitusi dalam putusannya, maka Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dapat diuji kembali ke Mahkamah Konstitusi.

Ketentuan conditionally constitutional seperti ini, sekilas mirip dengan nebis in idem dalam peradilan umumnya. Sedangkan sifat putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 juncto Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final sehingga tidak ada upaya hukum yang dapat dilakukan lagi.

  1. Identifikasi Masalah
  2. Apa yang dimaksud dengan Penafsiran Konstitusi?
  3. Bagaimana kedudukan Penafsiran dalam Metode Penemuan Hukum?
  4. Apa saja macam-macam dalam Penafsiran Konstitusi?
  5. Apa saja macam-macam dalam Penafsiran Konstitusi?
  6. Bagaimana penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dalam Nomor Registrasi Perkara 058-059-060063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 ?

 

  1. Tujuan Penelitian
  2. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kulian Hukum Konstitusi.
  3. Untuk memahami mengenai bagaimana kedudukan Penafsiran dalam Metode Penemuan Hukum.
  4. Untuk memahami macam-macam dalam Penafsiran Konstitusi.
  5. Untuk memahami macam-macam dalam Penafsiran Konstitusi.
  6. Untuk mengetahui bagaimana penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dalam Nomor Registrasi Perkara 058-059-060063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005.

 

 


BAB II

LANDASAN TEORI

  • Pengertian Penafsiran Konstitusi

Istilah ‘penafsiran konstitusi’ merupakan terjemahan dari constitutional interpretation. Albert H. Y. Chen, guru besar Fakultas Hukum Universitas Hong Kong menggunakan istilah “constitutional interpretation yang dibedakan dari interpretation of statute.” Penafsiran konstitusi atau constitutional interpretation merupakan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi atau undang-undang dasar, atau interpretation of the Basic Law. Penafsiran konstitusi merupakan hal yang tidak terpisahkan dari aktivitas judicial review. Chen menyatakan: The American experience demonstrates that constitutional interpretation is inseparable from judicial review of the constitutionality of governmental actions, particularly legislative enactments. Such judicial review was first established by the American Supreme Court in Marbury v Madison (1803).

Penafsiran konstitusi yang dimaksud di sini adalah penafsiran yang digunakan sebagai suatu metode dalam penemuan hukum (rechstvinding) berdasarkan konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang digunakan atau berkembang dalam praktik peradilan MK.

Usaha dalam bentuk interpretasi atau konstruksi dapat dilakukan oleh kekuasaan pengadilan. Interpretasi atau konstruksi ini adalah suatu proses yang ditempuh oleh pengadilan dalam rangka mendapatkan kepastian mengenai arti dari hukum perundang-undangan.

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengemukakan, interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit.Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.

Pembenaran logis bagi penafsiran hukum terhadap konstitusi terdapat dalam ungkapan yang digunakan Hakim Tinggi Marshall di Mahkamah Agung tahun 1803 dalam kasus Marbury v. Madison. Dimana sudah selayaknya menjadi wewenang dan tugas para hakim untuk memutuskan apa arti hukum.

Dalam bidang hukum tata negara, penafsiran dalam hal ini judicial interpretation (penafsiran oleh hakim), juga dapat berfungsi sebagai metode perubahan konstitusi dalam arti menambah, mengurangi, atau memperbaiki makna yang terdapat dalam suatu teks Undang Undang Dasarsebagaimana yang dikemukakan oleh K.C. Wheare.

Dalam ilmu hukum dan konstitusi, interpretasi atau penafsiran adalah metode penemuan hukum (rechtsvinding) dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Penemuan hukum adalah proses kegiatan pengambilan keputusan yuridik konkret yang secara langsung menimbulkan akibat hukum bagi suatu situasi individual (putusan-putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta oleh notaris dan sebagainya). Dalam arti tertentu menurut Meuwissen, penemuan hukum adalah pencerminan pembentukan hukum.[3]

Menurut  Sudikno Mertokusumo, interpretasi atau penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.[4]

 

  • Macam-macam Penafsiran Hukum

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengidentifikasikan beberapa metode interpretasi yang lazimnya digunakan oleh hakim sebagai berikut:

(1) interpretasi gramatikal atau penafsiran menurut bahasa;

(2) interpretasi teleologis atau sosiologis;

(3) interpretasi sistematis atau logis;

(4) interpretasi historis;

(5) interpretasi komparatif atau perbandingan;

(6) interpretasi futuristis.

INTERPRESTASI GRAMATIKAL

Interpretasi gramatikal atau interpretasi menurut bahasa ini memberikan penekanan pada pentingnya kedudukan bahasa dalam rangka memberikan makna terhadap sesuatu objek. Positief recht bestaat dus alleen maar dankzij het feit dat de mens een taal heeft – hukum positif itu ada hanya karena kenyataan bahwa manusia memiliki bahasa.[5] Menurut Anthony Mason, interpretasi atau penafsiran ini merupakan penafsiran yang sesuai dengan pengertian asli dari teks atau istilah-istilah yang terdapat dalam konstitusi. Penafsiran ini biasanya digunakan untuk menjelaskan teks, konteks, tujuan dan struktur konstitusi.[6]

Metode interpretasi gramatikal yang disebut juga metode penafsiran objektif merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari sekedar “membaca undang-undang”. Dari sini arti atau makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Ini tidak berarti bahwa hakim terikat erat pada bunyi kata-kata dari undang-undang. Interpretasi menurut bahasa ini juga harus logis.[7]

Terdapat 3 (tiga) pendekatan contextualism yang dapat digunakan dalam metode penafsiran ini, yaitu:[8]

  1. noscitur a socis, yaitu arti suatu perkataan harus dinilai dari ikatannya dalam kumpulan-kumpulannya;
  2. ejusdem generis, asas ini mengandung makna of the same class. Jadi suatu perkataan yang digunakan dalam lingkungan atau kelompok yang sama.
  3. expressum facit cassare tacitum, yaitu bahwa kata-kata yang dicantumkan secara tegas mengakhiri pencarian mengenai maksud dari suatu perundang-undangan.

INTERPRETASI TELEOLOGIS ATAU SOSIOLOGIS

Interpretasi teleologis atau sosiologis adalah apabila makna undangundang ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau tidak sesuai lagi, diterapkan pada peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak peduli apakah hal ini semuanya pada waktu diundangkannya Undang-Undang tersebut dikenal atau tidak. Di sini peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Jadi peraturan hukum yang lama disesuaikan dengan keadaan baru atau dengan kata lain peraturan yang lama dibuat aktual.[9]

INTERPRETASI SISTEMATIS ATAU LOGIS

Setiap undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan undang-undang lain disebut dengan interpretasi sistematis atau interpretasi logis.[10]

INTERPRETASI HISTORIS

Makna ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan dapat juga ditafsirkan dengan cara meneliti sejarah pembentukan peraturan itu sendiri. Penafsiran ini dikenal dengan interpretasi historis. Ada 2 (dua) macam interpretasi historis, yaitu:[11]

  1. penafsiran menurut sejarah undang-undang; dan
  2. penafsiran menurut sejarah hukum.

Dengan penafsiran menurut sejarah undang-undang hendak dicari maksud ketentuan undang-undang seperti yang dilihat atau dikehendaki oleh pembentuk undang-undang pada waktu pembentukkannya. Pikiran yang mendasari metode interpretasi ini ialah bahwa undang-undang adalah kehendak pembentuk undang-undang yang tercantum dalam teks undang-undang. Interpretasi menurut sejarah undang-undang ini disebut juga interpretasi subjektif, karena penafsir menempatkan diri pada pandangan subjektif pembentuk undang-undang. Sedangkan, metode interpretasi yang hendak memahami undang-undang dalam konteks seluruh sejarah hukum disebut dengan interpretasi menurut sejarah hukum.[12]

INTERPRETASI KOMPARATIF

Interpretasi komparatif atau perbandingan merupakan metode penafsiran yang dilakukan dengan jalan memperbandingkan antara beberapa aturan hukum. Tujuan hakim memperbandingkan adalah dimaksudkan untuk mencari kejelasan mengenai makna dari suatu ketentuan undang-undang.[13] Interpretasi perbandingan dapat dilakukan dengan jalan membandingkan penerapan asas-asas hukumnya (rechtsbeginselen) dalam peraturan perundang-undangan yang lain dan/atau aturan hukumnya (rechtsregel), di samping perbandingan tentang latar belakang atau sejarah pembentukan hukumnya.

INTERPRETASI FUTURISTIS

Interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah penjelasan ketentuan undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.[14]Dengan demikian, interpretasi ini lebih bersifat ius constituendum (hukum atau undang-undang yang dicitakan) daripada ius constitutum (hukum atau undang-undang yang berlaku pada saat sekarang).

  • Prinsip- Prinsip Penafsiran Konstitusi

Menurut Jon Roland Jon Roland, salah seorang senator Amerika Serikat yang memiliki intensi yang tinggi terhadap hukum konstitusi telah mengemukakan prinsip-prinsip mengenai penafsiran konstitusi (Principles of Constitutional Interpretation) yang dibedakannya menjadi 7 (tujuh) prinsip, yaitu:

  • Textual

Penafsiran tekstual didasarkan pada kata-kata yang aktual dari hukum tertulis, jika makna dari kata-kata tersebut tidak ambigu. Karena pada dasarnya hukum adalah sebuah perintah, maka ia harus diartikan seperti apa makna yang dimaksud pembuat hukum (tertulis). Dan jika maksud kata digunakan dalam suatu peristiwa, maka analisis tekstual dari kata-kata harus seperti pemahaman yang diinginkan pembuat undang-undang, yang mana untuk konstitusi dapat dipahami dari persetujuan yang disahkan, jika hal tersebut tidak jelas, maka dicari dari pembuat naskah.

  • Historical

Dalam Penafsiran Historis atau Historical Interpretation, keputusan sedikit sekali didasarkan pada kata-kata yang aktual dalam undang-undang, melainkan lebih didasarkan kepada pemahaman yang diungkapkan dari sejarah naskah dan pengesahan undang-undang tersebut, demikian juga terhadap konstitusi atau aturan dasar.

  • Functional

Dalam penafsiran fungsional (functional) atau disebut juga struktural, keputusan didasarkan dari struktur hukum dan bagaimana aturan tersebut diharapkan jelas keterkaitannya, sebuah sistem yang harmonis.

 

  • Doctrinal

Dalam Penafsiran Doktrinal, keputusan didasarkan kepada praktik yang berlaku atau pendapat hukum dari ahli hukum, terutama legislatif, eksekutif, atau yurisprudensi pengadilan, yang dijadikan sebagai prinsip untuk digunakan bagi keputusan pengadilan, yaitu tidak sebagai suatu nasehat belaka tetapi bersifat normatif.

  • Prudential

Prudential Interpretation berorientasi kepada kebijaksanaan yang dilahirkan dari sebuah putusan. Keputusan berdasar pada faktor di luar hukum atau kepentingan para pihak (masyarakat) dalam perkara, seperti memberi batas waktu yang harus dipenuhi pejabat publik, efisiensi kinerja pemerintah, menghindarkan dari pengaruh banyak hal, atau dari tekanan politis

  • Equitable

Dimana keputusan didasarkan pada perasaan keadilan, keseimbangan kepentingan dari para pihak, dan apa yang baik dan buruk, tanpa memperhatikan apa hukum (tertulis). Sering kali ditempatkan pada kasus di mana fakta tidak cukup untuk mengantisipasi atau memadai dari pembuat undang-undang.

  • Natural

Dalam Penafsiran Natural, Keputusan didasarkan pada apa yang diwajibkan atau anjuran dari hukum yang alamiah, atau barang kali dari sifat-sifat dasar manusia, dan pada apa yang bersifat jasmaniah atau secara ekonomis mungkin atau dapat dilakukan, atau pikiran yang bersifat aktual.

 

 

 

 

 

BAB III

PEMBAHASAN

Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Di dalam putusan Pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang merupakan pengujian undang-undang yang pertama kali diajukan kepada Mahkamah Konstitusi dan merupakan putusan pertama Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian undang-undang yang mendalilkan persoalan penguasaan negara atas sumber daya ekonomi, dari sana dapat dilihat tafsir penting Mahkamah Konstitusi dalam menjelaskan kedudukan negara berdasarkan frasa “dikuasai oleh negara” yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) tersebut. Hal itu adalah:

  1. Dalam konsepsi kepemilikan perdata, “dikuasai oleh negara” dipahami sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan alam.
  2. Pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata, karena kepemilikan tersebut lahir dari konstruksi kedaulatan rakyat yang dinyatakan dalam hukum tertinggi, yaitu Undang Undang Dasar 1945.
  3. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh Undang Undang Dasar 1945 memberikan mandat kepada negara untuk:
  4. Mengadakan kebijakan ( beleid ) dan tindakan pengurusan ( bestuursdaad ) yang dilakukan oleh negara c.q pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie).
  5. Pengaturan ( regelendaad ), dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif).
  6. Pengelolaan ( beheersdaad ), dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  7. Pengawasan ( toezichthoudensdaad ) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan itu benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.
  8. Pengertian “dikuasai oleh negara” tidak dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk mengatur, karena hal dimaksud sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara khusus dalam Undang Undang Dasar. Sekiranyapun Pasal 33 tidak tercantum dalam Undang Undang Dasar 1945, sebagaimana lazim di banyak negara yang menganut paham ekonomi liberal yang tidak mengatur norma-norma dasar perekonomian dalam konstitusinya, sudah dengan sendirinya negara berwenang melakukan fungsi pengaturan.
  9. Mengutip pendapat Bung Hatta, makna dikuasai oleh negara ialah bahwa terhadap cabang produksi yang telah dimiliki oleh negara, maka negara harus memperkuat posisi perusahaan tersebut agar kemudian secara bertahap akhirnya dapat menyediakan sendiri kebutuhan yang merupakan hajat hidup orang banyak dan menggantikan kedudukan perusahaan swasta, baik nasional maupun asing

Hal di atas akan menjadi pedoman utama bagi Mahkamah Konstitusi dalam memutus pengujian undang-undang terhadap Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, terutama yang mempermasalahkan penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan sumber kekayaan alam.

Dalam putusan pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Mahkamah Konstitusi menyebutkan: “Bahwa Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air telah cukup memberikan kewajiban kepada Pemerintah untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas air, yang dalam peraturan pelaksanaannya pemerintah haruslah memperhatikan pendapat Mahkamah yang telah disampaikan dalam pertimbangan hukum yang dijadikan dasar atau alasan putusan. Sehingga, apabila Undang-undang a quo dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan Mahkamah di atas, maka terhadap Undang-undang a quo tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali (Conditionally Constitutional)”

Dalam Perkara Nomor 058- 059-060-063/PUU- II/2004 dan 008/PUU-III/2005  Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Majelis Hakim menggunakan beberapa penafsiran dalam pertimbangan hukumnya, salah satunya penafsiran Tekstual dan Fungsional. Beberapa penafsiran hukum tersebut diantaranya:

 

No. Pertimbangan Hukum Metode Penafsiran Hukum
1. 1.Tanggung jawab penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum pada prinsipnya adalah tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Peran serta koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat hanyalah

bersifat terbatas dalam hal Pemerintah belum dapat menyelenggarakan sendiri, dan Pemerintah masih tetap memungkinkan menjalankan kewenangannya dalam pengaturan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam pengelolaan sumber daya air secara keseluruhan;

2. Pasal 40 ayat (1) menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 34 ayat (1) dilakukan dengan pengembangan sistem penyediaan air minum, sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa pengembangan sistem penyediaan air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pengembangan sistem penyediaan air minum diselenggarakan secara terpadu dengan pengembangan prasarana dan sarana sanitasi. Demikian dinyatakan dalam ayat (6) Pasal 40 UU SDA. Mahkamah berpendapat bahwa tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang dinyatakan oleh

Pasal 40 UU SDA ini harus menjadi prioritas program Pemerintah dan Pemerintah Daerah, karena dengan pengembangan sistem penyediaan air minum yang memadai, pemenuhan hak atas air akan meningkat kualitasnya, karena seseorang dalam waktu yang tidak terlalu lama dan dalam

jarak yang tidak terlalu jauh dapat memperoleh air.

Fungsional
2 1.       Menimbang bahwa air adalah res commune, dan oleh karenanya harus tunduk pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sehingga pengaturan tentang air harus masuk ke dalam sistem hukum publik yang terhadapnya tidak dapat dijadikan objek pemilikan dalam pengertian hukum perdata.

Oleh karena itu, satu-satunya konsep hak yang sesuai dengan hakikat pengaturan tersebut adalah hak atas air sebagai hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam konstitusi. Mahkamah berpendapat konsep Hak Guna Pakai Air sebagaimana telah dirumuskan dalam UU SDA harus ditafsirkan sebagai turunan (derivative) dari hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945;

2.       Menimbang bahwa meskipun dalam UU SDA dikenal Hak Guna Usaha Air sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (1), namun pengertian hak tersebut harus dibedakan dengan hak dalam pengertian yang umum. Pasal 1 angka 15 menyatakan bahwa Hak Guna Usaha Air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air. Dengan rumusan ini maka Hak Guna Usaha Air tidak dimaksudkan untuk memberikan hak penguasaan atas sumber air, sungai, danau, atau rawa. Penjelasan Umum angka 2 menyatakan bahwa Hak Guna Air bukan merupakan hak pemilikan atas air tetapi hanya terbatas pada hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan sejumlah (kuota) air sesuai dengan alokasi yang ditetapkan oleh Pemerintah kepada pengguna air.

3.       Konsep Hak Guna Air sedemikian ini sesuai dengan konsep bahwa air adalah res commune yang tidak menjadi objek harga secara ekonomi. Hak Guna Air mempunyai dua sifat. Pertama, pada hak guna pakai hak tersebut bersifat hak in persona. Hal dimaksud disebabkan hak guna pakai adalah pencerminan dari hak asasi, oleh karenanya hak tersebut melekat kepada subjek manusia yang sifatnya tak terpisahkan. Kedua, pada Hak Guna Usaha Air adalah hak yang sematamata timbul dari izin yang diberikan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, dan sebagai izin maka terikat oleh kaidahkaidah perizinan, termasuk di dalamnya ketentuan-ketentuan tentang persyaratan perizinan dan alasan-alasan yang menyebabkan izin dapat dicabut oleh pemberi izin. Sengketa atas Hak Guna Usaha Air tidak mungkin timbul antara Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan pemegang izin. Pemberi izin mempunyai hak pengawasan atas izin yang diberikan. Hak Guna Usaha Air merupakan instrumen dalam sistem perizinan yang digunakan Pemerintah untuk membatasi jumlah atau volume air yang dapat diperoleh atau diusahakan oleh yang berhak. Dengan adanya Hak Guna Usaha Air maka akan dengan jelas dapat ditentukan seberapa banyak volume air dapat diusahakan oleh pemegang izin. Mahkamah berpendapat bahwa kedua karakteristik yang terdapat pada Hak Guna Air tersebut telah terpenuhi dengan adanya ketentuan yang dicantumkan dalam Pasal 7 ayat (2) UU SDA yang menyatakan bahwa Hak Guna Air tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan, sebagian atau seluruhnya kepada pihak ke tiga;

Tekstual
3. 1.       Menimbang bahwa meskipun negara mempunyai hak penguasaan atas air, namun karena pada air terdapat aspek hak asasi, maka pengelolaan terhadap air haruslah dilakukan secara transparan, yaitu dengan mengikutsertakan peran masyarakat, dan tetap menghormati hak-hak masyarakat hukum adat terhadap air, dengan demikian terbangun demokratisasi dalam sistem pengelolaan sumber daya air. Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 11 ayat (3) yang menyatakan bahwa; ”Penyusunan pola pengelolaan sumber daya air dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya“ cukup mencerminkan keterbukaan dalam penyusunan pola pengelolaan sumber daya air. Adanya kalimat “seluas luasnya“ tidaklah ditafsirkan hanya memberikan peran yang besar kepada dunia usaha saja tetapi juga kepada masyarakat. Pelibatan masyarakat dan dunia usaha dimaksudkan untuk memberi masukan atas rencana penyusunan pengelolaan sumber daya air, dan tanggapan atas pola yang akan

2.       digunakan dalam pengelolaan sumber daya air. Peran negara sebagai yang menguasai air, demikian perintah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah tetap ada dan tidak dialihkan kepada dunia usaha atau swasta. Hal tersebut tercermin dalam ketentuan yang termuat dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU SDA; 2. Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan UU SDA menyebabkan komersialisasi terhadap air karena menganut prinsip “penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan” sesuai dengan jasa yang dipergunakan. Mahkamah berpendapat bahwa prinsip ini justru menempatkan air tidak sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi, karenanya tidak ada harga air sebagai komponen dalam menghitung jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Oleh karenanya prinsip ini tidak bersifat komersial; 3. Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 29 ayat (5) UU SDA akan menimbulkan beban bagi Pemerintah atau Pemerintah Daerah karena harus membayar kompensasi, apabila penetapan urutan prioritas penyediaan sumber daya air menimbulkan kerugian bagi pemakai sumber daya air. Mahkamah berpendapat bahwa kewajiban untuk mengatur kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan a quo tidaklah dimaksudkan sebagai memberikan kewajiban kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah untuk melakukan pembayaran. Dalam mengatur kompensasi Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat membebankan kepada penerima manfaat sumber daya air, dan tidak harus ditanggung oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Pengertian mengatur kompensasi tidak sama dengan membayar kompensasi. Mahkamah berpendapat Pasal 29 ayat (5) UU SDA tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945, sehingga permohonan Pemohon untuk menyatakan Pasal 29 ayat (5) bertentangan dengan UUD 1945 tidak berdasar

           Tekstual

 


 

 

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Undang-Undang Dasar tidak dapat dipahami hanya melalui teksnya saja. Untuk sungguh-sungguh mengerti, kita harus memahami konteks filosofis, sosio-historis, sosio-politis, sosio-juridis, dan bahkan sosio-ekonomis yang mempengaruhi perumusannya. Karena itu, penafsiran terhadap Undang-Undang Dasar pada masa lalu, masa kini, dan pada masa yang akan datang, memerlukan rujukan standar yang dapat dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya, sehingga Undang-Undang Dasar tidak menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga.

Penafsiran konstitusi atau constitutional interpretation sendiri merupakan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi atau undang-undang dasar, atau interpretation of the Basic Law. Penafsiran konstitusi merupakan hal yang tidak terpisahkan dari aktivitas judicial review.

Di dalam putusan Pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang merupakan pengujian undang-undang yang pertama kali diajukan kepada Mahkamah Konstitusi dan merupakan putusan pertama Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian undang-undang yang mendalilkan persoalan penguasaan negara atas sumber daya ekonomi, dari sana dapat dilihat tafsir penting Mahkamah Konstitusi dalam menjelaskan kedudukan negara berdasarkan frasa “dikuasai oleh negara” yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) tersebut.

Dalam Perkara Nomor 058- 059-060-063/PUU- II/2004 dan 008/PUU-III/2005  Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Majelis Hakim menggunakan beberapa penafsiran dalam pertimbangan hukumnya, beberapa di antaranya adalah penafsiran Tekstual dan Fungsional.

DAFTAR PUSTAKA

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005

Arimbi HP dan Emmy Hafild, Makalah: Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 45, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Fiends of the Earth (FoE) Indonesia, 1999

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, Teori Dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005

K.C Wheare, Konstitusi-konstitusi Modern, Cet II, Judul asli Modern Constitution, diterjemahkan oleh Muhammad Hardani, Eureka, Surabaya,  2005

Meuwissen , Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, terjemahan Arief Sidharta Bandung: Refika Aditama, 2008

J.A Pontier, Penemuan Hukum, terjemahan Arif Sidharta, Bandung: Jendela Mas Pustaka, 2008

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993

J.J.H. Bruggink, Rechtsreflecties, Grondbegrippen uit de rechtstheorie, Den Haag: Kluwer-Deventer, 1993, hal. 137 dalam Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010

Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010

Anthony Mason, The Interpretation of a Constitution in a Modern Liberal Democracy, dalam Charles Sampford (Ed.), Interpreting Constitutions Theories, Principles and Institutions, Sydney: The Ferderation Press, 1996

[1]Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005 (selanjutnya disingkat Jimly Asshiddiqie I), hal. 124.

[2]Arimbi HP dan Emmy Hafild, Makalah: Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 45, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Fiends of the Earth (FoE) Indonesia, 1999, hal. 1

[3] Meuwissen , Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, terjemahan Arief Sidharta Bandung: Refika Aditama,2008,  hal. 11

[4] Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 13

[5]Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, op. cit., hal. 70.

[6]Anthony Mason, The Interpretation of a Constitution in a Modern Liberal Democracy, dalam Charles Sampford (Ed.), Interpreting Constitutions Theories, Principles and Institutions, Sydney: The Ferderation Press, 1996, hal. 14

[7]Ibid., hal. 71.

[8]Ibid..

[9]Ibid ., hal. 71-72.

[10]Ibid..

[11]Ibid ., hal. 73.

[12]Ibid..

[13]Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op. cit., hal. 19

[14] Ibid

Jurisdiksi

  1. Pendahuluan

Tertib hukum internasional dilandasi prinsip kedaulatan Negara. Setiap Negara merdeka memiliki kedaulatan untuk mengatur segala sesuatu yang ada maupun yang terjadi di wilayah atau teritorialnya. Sebagai implementasi dimilikinya kedaulatan, Negara berwenang untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum dan untuk menegakkan atau menetapkan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya terhadap suatu peristiwa, kekayaan dan perbuatan. Kewenangan ini dikenal sebagai yurisdiksi Negara dalam hukum internasional.

Yurisdiksi Negara dalam hokum internasional jelas berperan sangat penting dalam tiap-tiap Negara, dengan demikian tiap Negara berwenang untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hokum nasionalnya terhadap suatu peristiwa, kekayaan dan perbuatan apapun yang terjadi di wilayah atau teritorialnya.

Bila yurisdiksi dikaitkan dengan Negara maka akan berarti kekuasaan atau kewenangan Negara untuk menetapkan dan memaksakan (to declare and to enfore) hukum yang dibuat oleh Negara atau bangsa itu sendiri.[1]

  1. Tujuan Pembelajaran
  2. bagaimana pengaturan yurisdiksi dalam Hukum Internasional?
  3. bagaimana pengaturan yurisdiksi terhadap kejahatan kemanusiaan?
  4. berdasarkan task 10, negara mana yang berhak menjalankan yurisdiksi?
  5. Pembahasan
  6. bagaimana pengaturan yurisdiksi dalam hukum internasional

Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kedaulatan negara tidak akan diakui apabila negara tersebut tidak memiliki jurisdiksi,[2] persamaan derajat negara dimana kedua negara yang sama-sama merdeka dan berdaulat tidak bisa memiliki jurisdiksi (wewenang) terhadap pihak lainnya (equal states don’t have jurisdiction over each other)[3], dan prinsip tidak turut campur negara terhadap urusan domestik negara lain. Prinsip-prinsip tersebut tersirat dari prinsip hukum “par in parem non habet imperium”.

Anthony Csabafi, dalam bukunya “The Concept of State Jurisdiction in International Space Law” mengemukakan tentang pengertian yurisdiksi negara dengan menyatakan sebagai berikut : “Yurisdiksi negara dalam hukum internasional berarti hak dari suatu negara untuk mengatur dan mempengaruhi dengan langkah-langkah dan tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta kekayaannya, perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwa yang tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri”.[4] Berdasarkan pengertian yang dikemukakan di atas, yang termasuk dalam unsur-unsur yurisdiksi negara adalah :

  1. Hak, kekuasaan, dan kewenangan.
  2. Mengatur (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).
  3. Obyek (hal, peristiwa, perilaku, masalah, orang, dan benda).
  4. Tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri (not exclusively of domestic concern).
  5. Hukum internasional (sebagai dasar/landasannya).

Menurut Rebecca M.M Wallace, yurisdiksi merupakan atribut kedaulatan suatu negara. Yurisdiksi suatu negara menunjuk pada kompetensi negara tersebut untuk mengatur orang-orang dan kekayaan dengan hukum nasionalnya. Kompetensi ini mencakup yurisdiksi untuk menentukan (dan melarang), untuk mengadili dan melaksanakan undang-undang[5]

Yurisdiksi dapat digolongkan ke dalam prinsip-prinsip jurisdiksi berikut :

  1. Yurisdiksi teritorial.

Ciri pokok dari kedaulatan dalam batas-batas ini, seperti semua negara merdeka yang berdaulat, bahwa negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas teritorialnya dan dalam semua perkara perdata dan pidana yang timbul di dalam batas-batas teritorial ini.[6]

Prinsip teritorial ini terbadi atas dua : suatu tindak pidana yang dimulai di suatu negara dan berakhir di negara lain. Misalnya seorang yang menembak di daerah perbatasan negara A melukai seorang lainnya di wilayah negara B. Dalam keadaan ini, kedua negara memiliki yurisdiksi. Negara, dimana perbuatan itu dimulai (A), memiliki yurisdiksi menurut prinsip teritorial subyektif(subjective territorial principle). Negara dimana tindakan tersebut diselesaikan (B), memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip teritorial obyektif (objective territorial principle).[7]

  1. Yurisdiksi Personal.

Menurut prinsip yurisdiksi personal, suatu negara dapat mengadili warga negaranya karena kejahatan yang dilakukannya di mana pun juga. Sebaliknya, adalah kewajiban negara untuk memberikan perlindungan diplomatik kepada warga negaranya di luar negeri. Ketentuan ini telah diterima secara universal.[8]

  1. Yurisdiksi menurut Prinsip Perlindungan.

Berdasarkan prinsip yurisdiksi perlindungan, suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga-warga asing yang melakukan kejahatan di luar negeri yang diduga dapat mengancam kepentingan keamanan, integritas, dan kemerdekaan negara. Penerapan prinsip ini dibenarkan sebagai dasar untuk penerapan yurisdiksi suatu negara. Latar belakang pembenaran ini adalah perundang-undangan nasional pada umumnya tidak mengatur atau tidak menghukum perbuatan yang dilakukan di dalam suatu negara yang dapat mengancam atau mengganggu keamanan, integritas, dan kemerdekaan orang lain.

  1. Prinsip Yurisdiksi Universal

Menurut prinsip ini, setiap negara mempunyai yurisdiksi terhadap tindak kejahatan yang mengancam masyarakat internasional. Yurisdiksi ini lahir tanpa melihat dimana kejahatan dilakukan atau warga negara yang melakukan kejahatan. Lahirnya prinsip yurisdiksi universal terhadap jenis kejahatan yang merusak terhadap masyarakat internasional sebenarnya juga disebabkan karena tidak adanya badan peradilan internasional yang khusus mengadili kejahatan yang dilakukan orang-perorang (individu).

 

  1. bagaimana pengaturan yurisdiksi terhadap kejahatan kemanusiaan?

Kejahatan-kejahatan yang telah diterima sebagai kejahatan yang tunduk pada prinsip yurisdiksi universal adalah pembajakan di laut (perompakan) dan kejahatan perang. Yurisdiksi universal terhadap perompak telah diterima cukup lama oleh hukum internasional. Setiap negara dapat menahan dan menghukum setiap tindakan pembajakan di laut.

“All states shall co-operate to the fullest possible extent in the repression of piracy on the high seas or in any other place outside the jurisdiction of any state”[9]

Kejahatan perang juga telah diterima universal sebagai kejahatan yang tunduk kepada yurisdiksi setiap negara meskipun jenis kejahatan ini sangat sensitif dan lebih berat bobot politiknya.[10] Komisi Kejahatan perang PBB (the United Nations War Crimes Commision) menyatakan bahwa hak untuk menghukum kejahatan tidak terbatas pada negara yang warga negaranya menderita atau kepala negara yang wilayahnya dipakai sebagai tempat dilaksanakannya kejahatan. Namun hak tersebut dimiliki oleh setiap negara yang merdeka.

Sebagai contoh dari penerapan yurisdiksi terhadap kejahatan kemanusiaan ddalam suatu organisasi internasional adalah dalam Uni Afrika. Dalam Pasal 4 dari UU konstitutif Uni Afrika meletakkan bawah prinsip-prinsip pembatsan yurisdiksi negara anggotanya sebagai berikut[11]:

  1. damai penyelesaian konflik di antara negara-negara anggota dari Uni melalui sarana yang tepat seperti sebagaimana dapat memutuskan atas oleh Majelis;
  2. Hak Union untuk campur tangan dalam Negara Anggota sesuai mengambil keputusan Majelis sehubungan dengan kuburan keadaan, yaitu kejahatan perang, genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan;
  3. Hak Negara-negara Anggota untuk meminta intervensi dari Serikat dalam rangka untuk memulihkan perdamaian dan keamanan;

Dari ketiga prinsip tersebut terlihat jelas besarnya kewenangan dari Uni Afrika terhadap negara anggotanya. Bahwa dalam hal penyelesaian konflik secara damai melalui sarana yang telah ditetapkan oleh Majelis. Dan pada prinsip berikutnya disebutkan juga secara jelas bahwa uni Afrika berhak untuk campur tangan terhadap permasalahan kejahatan perang, genosida, dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di wilayah negara anggotanya. Bahkan dalam rangka untuk memulihkan perdamaian dan keamanan Uni Afrika dapat melakukan intervensi atas dasar permintaan negara anggotanya.

  1. berdasarkan task 10, negara mana yang berhak menjalankan yurisdiksi?

Pada tanggal 11 Maret 2014, serangkaian bom meledak dalam hitungan menit di empat kereta antar kota di Ibu Kota Spanyol (Madrid). Ledakan tersebut membunuh 191 orang dan melukai 1755 orang lainnya. Sebagian besar dari korban adalah warga negara Spanyol dan Romania. Ledakan tersebut merupakan serangan teror terburuk dalam sejarah Eropa setelah kasus Lockerbie tahun 1988.

29 orang yang sebagian besar warga negara Maroko diduga terlibat dalam ledakan tersebut. Tujuh orang diantaranya dituntut di hadapan pengadilan Spanyol atas tindakan pembunuhan dan merupakan bagian dari kelompok Al-Qaea yang dibantu oleh Pemerintah Iran. Kennie seorang berkewarganegaraan Algeria adalah salah satu tersangka dari pemboman Madrid tersebut. Setelah ditahan oleh Kepolisian Spanyol, dia kemudian mengakui bahwa bom tersebut dibelinya di Belanda.

Berdasarkan kasus tersebut, dan berdasar pada berbagai pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa negara yang paling berhak untuk menegakkan yurisdiksi pidananya adalah negara Spanyol, yang menjadi tempat meledaknya serangkaian bom, tepatnya di empat kereta antar kotanya di Ibu Kotanya, yang membunuh 191 orang dan melukai 1755 orang lainnya. Hal ini didasarkan pada prinsip yurisdiksi teritorial.

Menurut prinsip yorisdikis teritorial, negara mempunyai yurisdiksi terhadap semua persoalan dan kejadian dalam wilayahnya. Hal ini dikuatkan oleh penjabaran dari Glanville Williams yang menjelaskan faktor-faktoryang menguatkan hubungan yang sangat erat antara wilayah suatu negara dengan kewenangan yurisdiksinya. Di antaranya faktor-faktor tersebut adalah, negara di mana suatu perbuatan tindak pidana kejahatan dilakukan biasanya mempunyai kepentingan yang paling kuat utuk menghukumnya. Kedua, biasanya si pelaku kejahatan ditemukan di negara tempat ia melakukan tindak pidana. Ketiga, biasanya pengadilan setempat (local forum) dimana tindak pidana terjadi adalah yang paling tepat, karena saksi-saksi (dan mungkin barang buktinya) dapat ditemukan di negara tersebut. Keempat, adanya fakta bahwa dengan tersangkutnya lebih dari satu sistem hukum yang berbeda, maka akan janggal bila seseorang tunduk pada dua sistem hukum.

Dari faktor-faktor tersebut, jelas terlihat bahwa dalam kasus task 10 ini, negara yang paling tepat menerapkan yurisdiksinya adalah negara Spanyol.

 

  1. Penutup

Yurisdiksi Negara dalam hokum internasional jelas berperan sangat penting dalam tiap-tiap Negara, dengan demikian tiap Negara berwenang untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hokum nasionalnya terhadap suatu peristiwa, kekayaan dan perbuatan apapun yang terjadi di wilayah atau teritorialnya.

Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kedaulatan negara tidak akan diakui apabila negara tersebut tidak memiliki jurisdiksi, persamaan derajat negara dimana kedua negara yang sama-sama merdeka dan berdaulat tidak bisa memiliki jurisdiksi (wewenang) terhadap pihak lainnya (equal states don’t have jurisdiction over each other), dan prinsip tidak turut campur negara terhadap urusan domestik negara lain. Prinsip-prinsip tersebut tersirat dari prinsip hukum “par in parem non habet imperium”.

Adapun berdasarkan kasus pada task 10, dan berdasar pada berbagai pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa negara yang paling berhak untuk menegakkan yurisdiksi pidananya adalah negara Spanyol, yang menjadi tempat meledaknya serangkaian bom, tepatnya di empat kereta antar kotanya di Ibu Kotanya, yang membunuh 191 orang dan melukai 1755 orang lainnya. Hal ini didasarkan pada prinsip yurisdiksi teritorial

Referensi

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Pers, 2010.

Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, Bandung, Penerbit Nusamedia, 2007

Anthony Csabafi, The Concept of State Jurisdiction in International Space Law, The Hague, 1971

  1. Bachtiar Hamzah, Hukum Internasional II, (Medan : USU Press, 1997), hal.69.

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2010

Malcolm N Shaw, International Law, Cambridge University Press, New York, 2008

http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/2E%20Makalah%2 0Perjanjian%20Internansional.pdf

[1] Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Pers, 2010, hal 232.

[2] Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, Bandung, Penerbit Nusamedia, 2007, hal.56

[3] Ibid, hlm. 57

[4] Anthony Csabafi, The Concept of State Jurisdiction in International Space Law, The Hague, 1971, hal.45

[5] H. Bachtiar Hamzah, Hukum Internasional II, (Medan : USU Press, 1997), hal.69.

[6] J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 270

[7] Ibid, hlm 187

[8] J.G. Starke, Op.Cit, hlm. 200

[9] Isi dari pasal 100 United Nation Convention on the Law of the Sea.

[10] Malcolm N Shaw, International Law, Cambridge University Press, New York, 2008, hlm. 360

[11]http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/2E%20Makalah%2 0Perjanjian%20Internansional.pdf